Kearifan Lokal Orang Tolaki
Penduduk kabupaten Konawe didominasi oleh suku Tolaki. Sebagian
dari masyarakat Tolaki masih tradisional dan menggantungkan hidupnya dari
mengelola sumber daya alam. Sampai saat ini suku Tolaki memiliki
keyakinan dan tradisi untuk menjaga dan memelihara kelestarian hutan yang terus
diwariskan ke anak cucu mereka. Pernyataan ini dimaknai dari pepatah ”
mombiara pombahora ronga anahoma ano dungu opitu turuna” yang
diartikan secara harfiah bahwa secara individu dan 2 kekeluargaan masyarakat
adat Tolaki harus dapat memlihara dan melestarikan lingkungan alam yang
dimilikinya sampai lapis ketujuh anak cucu mereka.
Kearifan lokal masyarakat Tolaki yang masih dipertahankan sampai
saat ini adalah sistem perladangan dan pembukaan lahan dengan tradisi dan
kebiasaan yang sudah turun temurun dilakukan oleh nenek moyang mereka yang
tetap memperhatikan daya dukung dan kelestarian hutan. Salah satu bentuk
pranata pengelolaan sumberdaya hutan orang Tolaki yang masih berlaku adalah Monda’u.
Pada tulisan ini, penulis akan menjelaskan rangkaian kegiatan Monda’u mulai dari kegiatan Monggiikii ando’olo hingga
kegiatan molonggo.
Tahapan Kegiatan Monda’u
Monda’u merupakan suatu
bentuk usaha perladangan berpindah (Shifting cultivation). Kegiatan Monda’u diawali
dengan pembukaan kawasan hutan dengan cara menebang pepohonan dan membakarnya
yang terdiri dari beberapa tahapan :
1. Pemilihan lokasi perladangan (Monggiikii ando’olo)
2. Upacara pra Monda’u (mohoto o wuta)
3. Menebang pepohonan kecil, menebas akar-akaran dan lain-lain (mosalei )
4. Menebang pepohonan besar (mombodoi/monduehi)
5. Membakar (humunu)
6. Membersihkan sisa-sisa pembakaran (mo’enggai)
7. Membuat pagar (mewala)
8. Menanam padi (motasu)
9. Membersihkan rerumputan dan menjaga tanaman (Mosaira dan mete’ia )
10. Panen (mosawi)
11. Memasukan ke dalam lumbung (molonggo)
Persiapan Pembukaan Lahan
Sebelum pembukaan lahan dilakukan, ada bebarapa tahapan persiapan
yang harus dilakukan. Tahapan pertama yang harus dilakukan yaitu pemilihan
lahan atau Mongiikii ando’olo. Lahan yang dibuka yaitu tanah yang
rata atau dengan topografi dibawah 25%. Masyarakat kelurahan unaaha membuka
lahan tidak lebih dari 1 Ha. Setelah pemilihan lahan telah dilakukan, maka
telah dapat dilakukan pembukaan lahan. Pemilihan dan pembukaan lahan dilakukan
pada awal musim kemarau yaitu bulan September hingga November.
Pada hari pertama pembukaan lahan, petani akan melakukan ritual
yang disebut upacara Mohoto o wuta (memotong tanah). Ritual
ini bertujuan sebagai pertanda awal akan dilakukan pembukan hutan di kawasan
tersebut. Pelaksanaan ritual ini dilakukan dengan menyembelih seekor ayam di
dalam lokasi tersebut. Setelah ayam tersebut disembelih, daging ayam kemudian
masak di dalam hutan untuk disantap pada saat makan siang. Sebelum makan siang,
kegiatan memaras (mosalei), telah dapat dilakukan hingga tiba waktu
makan siang. Setelah makan siang, petani kemudian harus pulang ke rumah dan
tidak diperkenankan melanjutkan kegiatan pemarasan hingga hari ke tiga. Hal ini
merupakan pantangan bagi masyarakat suku Tolaki.
Pembukaan Ladang
Hari ketiga, pemarasan (mosalei) dan penebangan (mombodoi/monduehi)
dapat kembali dilakukan. Kegiatan ini dilakukan sebelum lahan tersebut
dilakukan pembakaran (humunu). Untuk mencegah terbakarnya hutan sekitar
lahan yang dibuka, maka dilakukanlah kegiatan mekere bersamaan
dengan kegiatan mosalei dan mombodoi. Mekere didefenisikan
sebagai suatu cara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Tolaki ketika
hendak membakar hutan atau ladang yang akan dijadikan sebagai tempat bercocok
tanam dengan membuat batas lingkaran (sekat bakar) di seluruh wilayah yang akan
dibakar. Lebar batas lingkaran umumnya antara 3 (tiga) sampai 4 (empat) meter.
Ukuran tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai ukuran standar yang dapat
mencegah menyebarnya api yang disulut ke lahan atau hutan lainnya. Setelah
kegiatan mosalei, mombodoi dan mekere dilakukan,
lahan kemudian dijemur selama satu bulan agar lahan siap di bakar.
Setelah lebih kurang satu bulan, dengan memperhatikan kaidahpesuri
mbondau maka lahan dapat dibakar (humunu). Humunu merupakan
kegiatan pembakaran bahan bakar berupa kayu dari batang–batang pohon serta
bahan bakar lainnya yang sudah kering yang telah ditebang. Peladang sebelum
melakukan pembakaran harus dengan cermat dan hati-hati memperhatikan arah angin
bertiup untuk membuat titik api. Penentuan titik api sangat menentukan hangus
(pembakaran sempurna) atau tidaknya bahan bakar yang dibakar. Penyulutan api
pertama dilakukan searah angin bertiup. Pembakaran biasanya dilakukan sore hari
dan secara serentak yang melibatkan seluruh peladang untuk menjaga-jaga
mengelilingi lokasi perladangan pada saat pembakaran akan dan sedang
berlangsung sampai selesai. Sebelum meninggalkan lahan yang sudah terbakar,
peladang harus memastikan bahan bakar sudah terbakar sempurna, jika tidak
terbakar sempurna biasanya para peladang mengumpulkan bahan-bahan bakar untuk
dibakar kembali. Kegiatan membersihkan kembali dari batang-batang yang tidak
hangus disebut mo’enggai.
Penanaman, Perawatan dan Pemanenan
Sebelum kegiatan penanaman (motasu) dilakukan, terlebih
dahulu dilakukan pemagaran (mewala) guna menandai batasan lading dan
mencegah masuknya hama babi pada ladang. Setelah lahan dinyatakan siap untuk
ditanami, kegiatan motasu dapat dilakukan. Motasu merupakan
kegiatan menanam benih (padi atau sayur-sayuran lainnya) pada suatu lahan atau
ladang. Motasu sebaiknya segera dilakukan setelah dilakukan
pembakaran lahan. Hal ini bertujuan agar lahan tidak ditumbuhi gulma sebelum
penanaman. Kegiatan motasu basanya dilakukan masyarakat Tolaki pada akhir musim
kemarau.
Dua hingga tiga minggu setelah penanaman (motasu)
dilakukan, maka kegiatan perawatan dan pengawasan ladang dapat dilakukan.
Kegiatan perawatan ladang disebut dengan mosaira sedangkan
kegiatan pengawasan ladang disebut meteia. Mosaira dilakukan
guna merawat tanaman dari serangan gulma yaitu dengan membersihkan ladang dari
tumbuhan-tumbuhan pengganggu. Sedangkan meteia yaitu kegiatan pengawasan
ladang dari serangan burung kecil (manu mohewu), babi (o beke)
dan hama pengganggu lainnya. Meteia dilakukan dengan melakukan
penjagaan pada lahan siang dan malam.
Setelah tanaman pada ladang tersebut telah siap untuk dipanen, maka
kegiatan pemanenan atau mosowi dapat dilakukan. Hasil panen
kemudian diikat dan dimasukan kedalam lumbung. Kegiatan memasukan hasil panen
ke dalam lumbung biasa disebut dengan molonggo. Kegiatanmolonggo ini
merupakan rangkaian kegiatan terakhir dari kegiatan Monda’u.
Areal tanah bekas ladang, lokasi tumbuhnya pohon sagu, lokasi melepaskan kerbau, lokasi tempat perburuan, rawa dan bagian batang sungai tempat menangkap ikan, kintal yang penuh tanaman yang biasanya terdapat kubur leluhur, pekarangan yang telah ditinggalkan karena harus pindah ke perkampungan lain, semuanya menurut hukum adat pertanahan orang tolaki, merupakan tanah yang dikuasai atau dimiliki oleh suatu keluarga, baik karena keluarga itu pernah secara langsung mengolahnya, maupun karena tanah itu tanah warisan secara turun temurun.
Hingga kini, tanah-tanah tersebut masih dikenal sebagai :
1. Ana homa atau ana sepu (belukar bekas perladangan)
2. O galu (tanah persawahan)
3. O epe (lokasi tanaman sagu)
4. Walaka (areal tempat melepaskan kerbau)
5. Lokua (areal tempat berburu)
6. Arano atau pinokotei (rawa atau bagian batang sungai tempat menangkap ikan)
7. Waworaha (areal tanaman jangka panjang)
8. Pombahora (kintal yang ditinggalkan)
Hutan belukar adalah satu areal tanah bekas perladangan yang akan tumbuh kembali menjadi hutan rimba. Biasanya suatu hutan belukar, merupakan suatu kompleks bekas olahan dari banyak keluarga yang tergabung dalam suatu keluarga asal dari satu nenek moyang. Menurut hukum adat pertanahan orang Tolaki, tanah hutan belukar tersebut dapat diolah kembali oleh yang bersangkutan setelah setiap sembilan tahun. Kini hak penguasaan tanah ini telah tidak diakui oleh pemerintah setempat.
Pada dasarnya biarpun telah ada uang sebagai alat tukar, baik sebelum dan setelah zaman kolonial Belanda dan Jepang, orang Tolaki lebih suka untuk tukar menukar dengan barang, terutama dengan beras. Beras dapat ditukarkan dengan barang apa saja yang dibutuhkan, misalnya dengan kerbau, kuda, ayam, alat senjata, alat peralatan pertanian dan alat produksi pada umumnya, dengan alat-alat rumah tangga, dan sebagainya, baik secara langsung dirumah maupun melalui pasar. Kecuali bagi mereka yang kebetulan tidak memproduksi banyak padi.
Setiap pemilik sesuatu barang produksi tidaklah secara mutlak hanya dinikmati olehnya sendiri tetapi harus dinikmati oleh pihak lain. Bagian dan dengan ukuran tertentu dari suatu barang produksi diberikan atau dihadiahkan kepada pemerintah setempat, antara lain untuk mokole (raja), putobu (kepala distrik), dan tonomotuo (kepala kampung), pabitara (hakim adat), dan posudo (wakil kepala kampung), serta kepada lain-lain anggota keluarga dalam suatu rukun tetangga, misalnya kepada janda, duda, dan anak yatim piatu, dan siapa saja yang hadir pada saat penghitungan jumlah padi, pada saat pemotongan padi dan pada saat pemotongan ternak atau hasil buruan. Mereka yang memberikan bantuan tenaga dalam pekerjaan tertentu tidaklah harus diberikan imbalan berupa uang, tetapi berupa barang produksi yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut, misalnya bantuan menanam padi di berikan imbalan berupa gabah sisa bibit, bantuan menuai padi di berikan imbalan berupa padi dan seterusnya.
Konsep Kepemilikan
Areal tanah bekas ladang, lokasi tumbuhnya pohon sagu, lokasi melepaskan kerbau, lokasi tempat perburuan, rawa dan bagian batang sungai tempat menangkap ikan, kintal yang penuh tanaman yang biasanya terdapat kubur leluhur, pekarangan yang telah ditinggalkan karena harus pindah ke perkampungan lain, semuanya menurut hukum adat pertanahan orang tolaki, merupakan tanah yang dikuasai atau dimiliki oleh suatu keluarga, baik karena keluarga itu pernah secara langsung mengolahnya, maupun karena tanah itu tanah warisan secara turun temurun.
Hingga kini, tanah-tanah tersebut masih dikenal sebagai :
1. Ana homa atau ana sepu (belukar bekas perladangan)
2. O galu (tanah persawahan)
3. O epe (lokasi tanaman sagu)
4. Walaka (areal tempat melepaskan kerbau)
5. Lokua (areal tempat berburu)
6. Arano atau pinokotei (rawa atau bagian batang sungai tempat menangkap ikan)
7. Waworaha (areal tanaman jangka panjang)
8. Pombahora (kintal yang ditinggalkan)
Hutan belukar adalah satu areal tanah bekas perladangan yang akan tumbuh kembali menjadi hutan rimba. Biasanya suatu hutan belukar, merupakan suatu kompleks bekas olahan dari banyak keluarga yang tergabung dalam suatu keluarga asal dari satu nenek moyang. Menurut hukum adat pertanahan orang Tolaki, tanah hutan belukar tersebut dapat diolah kembali oleh yang bersangkutan setelah setiap sembilan tahun. Kini hak penguasaan tanah ini telah tidak diakui oleh pemerintah setempat.
Tukar Menukar dan Redestribusi
Pada dasarnya biarpun telah ada uang sebagai alat tukar, baik sebelum dan setelah zaman kolonial Belanda dan Jepang, orang Tolaki lebih suka untuk tukar menukar dengan barang, terutama dengan beras. Beras dapat ditukarkan dengan barang apa saja yang dibutuhkan, misalnya dengan kerbau, kuda, ayam, alat senjata, alat peralatan pertanian dan alat produksi pada umumnya, dengan alat-alat rumah tangga, dan sebagainya, baik secara langsung dirumah maupun melalui pasar. Kecuali bagi mereka yang kebetulan tidak memproduksi banyak padi.
Setiap pemilik sesuatu barang produksi tidaklah secara mutlak hanya dinikmati olehnya sendiri tetapi harus dinikmati oleh pihak lain. Bagian dan dengan ukuran tertentu dari suatu barang produksi diberikan atau dihadiahkan kepada pemerintah setempat, antara lain untuk mokole (raja), putobu (kepala distrik), dan tonomotuo (kepala kampung), pabitara (hakim adat), dan posudo (wakil kepala kampung), serta kepada lain-lain anggota keluarga dalam suatu rukun tetangga, misalnya kepada janda, duda, dan anak yatim piatu, dan siapa saja yang hadir pada saat penghitungan jumlah padi, pada saat pemotongan padi dan pada saat pemotongan ternak atau hasil buruan. Mereka yang memberikan bantuan tenaga dalam pekerjaan tertentu tidaklah harus diberikan imbalan berupa uang, tetapi berupa barang produksi yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut, misalnya bantuan menanam padi di berikan imbalan berupa gabah sisa bibit, bantuan menuai padi di berikan imbalan berupa padi dan seterusnya.
Pemberian suatu jenis produksi
kepada pemerintah setempat dan kepada kaum kerabat dan tetangga lainnya
didasarkan pada pandangan mereka bahwa hal ini merupakan syarat mutlak bagi
kelangsungan usaha tani mereka agar produksi senantiasa melebihi, bernilai tambah,
melimpah. Pandangan ini terkandung dalam ajaran-ajaran pokok mereka dalam mata
pencaharian yang mereka sebut o wua, o lawi, dan o sapa. Selain dari prinsip
diatas, khususnya pemberian kepada kaum kerabat dan tetangga merupakan
manifestasi dari proses tukar menukar hasil produksi masing-masing sebagai apa
yang disebut mombekakaka'ako yang berarti saling menikmati makanan hasil
produksi satu sama lain. Kenyataan tukar menukar ini merupakan salah satu
bentuk perwujudan prinsip reciprocity atau timbal balik yang menggejala pada
banyak masyarakat perdesaan di dunia.
Semoga dengan adanya blog yang membahas tentang suku Tolaki,dapat bermanfaat dan menambah wawasan kita semua tentang suku-suku yang ada di negeri Indonesia ini. Dan dapat menarik para wisatawan untuk datang dan menyaksikan keindahan dari kebudayaan yang dimiliki oleh suku Tolaki
wow,bagus sekali yah posting yang berguna
bagus bangeet isi blog nyaa, sangat bermanfaat bagi kita generasi muda yang sangat minim akan pengetahuan suku-suku nya, jujur saya sendiri baru tau tentang suku ini. Semoga ini dapat mempopulerkan suku-suku yang lainnya dan dapat menambah pengetahuan kita tentang suku-suku di indonesia lainnya yg belom terekposes..
wahhhh..semakin bertambah deh ilmu pengetahuan tentang suku-suku yang ada di Indonesia.
Thanks. . .Great Posting ^^
suku tolaki itu terletak dimana ya?
apa suku tolaki ini suku asli indonesia?
anyway blog ini bermanfaat buat masyarakat luas, terutama bagi masyarakat yang belum banyak mengetahui tentang suku-suku indonesia
semoga dengan adanya blog ini yang memberikan informasi semakin memajukan pariwisata indonesia
isi postingan nya bagus, jadi bertambah ni pengetahuan tentang suku-suku yang ada di indonesia.
Indonesia memang sangat indah, sayang sekali jika pemerintah mengabaikan pengelolaan daerah-daerah terpencil di Indonesia yang sebenarnya mampu meningkatkan pendapatan negara maupun pendapatan masyarakat sekitar, terutama dari segi sistem ekonomi, mereka memiliki keunikan yang tidak biasa dijumpai dalam kehidupan masyarakat modern.
weheeee,, kereen pariwisata...
coba kamu kasi foto di dalemnya biar pada tau gimana aslinya :D
jadi ga tulisan doang, biar ga jenuh juga bacanya :))
waaah bagus postingannya menambah pengetahuan tentang suku2 di indonesia, semoga blog ini bisa terus menambah wawasan pengetahuan dan informasi kita semua :)
suku tolaki itu dari sulawesi kan ya??
sepertinya kita harus mencontoh salah satu sifat mereka yg mempunyai sifat yg saling berbagi terhadap sesama.
tambahan lagi pengetahuan mengenai budaya yang ada di Indonesia,,,
saya juga baru denger suku Tolaki,,,
Terletak di Sulawesi Tenggara.