Kebudayaan Suku Baduy


Kebudayaan Suku Baduy


Pendahuluan
Kawasan tempat tinggal Suku Baduy terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasblitung, jawabarat. Luas wilayah Desa Kanekes adalah 5.102 Hektar. Wilayah tempat tinggal suku Baduy merupakan jalur selatan dari system pegunungan Sunda di Pulau Jawa dengan Gunung Kendeng sebagai salah satu tegakan alamnya. Kawasan perbukitan yang kaya akan anak-anak sungai dan beberapa aliran sungai uatama seperti sungai Ci ujung, Ci Semeut, dan Sungai Kendeng. Baduy bukanlah suku terasing, melaikan suku yang mengasingkan diri. Hidup dengan sedikit penghirauan kemajuan Baduy bukanlah jaman, tetap tunduk dan setia pada tradisi leluhur, berpola hidup sederhana dan mandiri, serta sangat memperhatikan kelestarian alam yang merupakan sumber kehidupannya dalam membangun kesejahteraan keluarga.

A.  Latar Belakang Kebudayaan.
a.1  Lokasi


suku baduy terletak di daerah banten, secara geografis suku baduy terletak pada koodinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT. Suku Baduy tepatnya bermukim di kaki gunung kendeng di desa Kenekes, kecamatan lewidamar, kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten berjarak sekitar 40 kilometer dari kota Rangkasbitung. Suhu rata-rata di sana adalah 20 °C dan tiga desa uamananya adalah Cikeusik ,Cibeo, Cikertawana.  Dilihat dari segi Geografisnya Suku Baduy jauh dari tempat-tempat umum dan terletak dengan gunung sehingga menyebabkan orang Kenakes lebih menutup diri terhadap dunia luar seperti tidak belajar memebaca dan menulis, mengenal teknologi, dan hanya berpegang teguh pada kepercayaan dan adat istiadat yang mereka anut. Orang Kenakes menjadi dua yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam. 




a.2  Sejarah

Berawal dari eksodus kerajaan Padjajaran di wilayah Bogor ratusan tahun lalu, hal ini di identikan dengan asumsi adanya temuan Aroa Domas atau Sasaka Domas di hulu Sungai Ujung atau Ci Ujung. Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai ‘Tatar Sunda’ yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran. Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala’ (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau ‘Sunda Asli’ atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan ‘wangsit siliwangi’ yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
                                                                                               


             

 a.3   Demografi

Komunitas Suku Baduy secara demografis dan didasarkan pada aspek historinya, terbagi dalam dua kelompok utama kimunitas, yaitu kelompok Baduy Dalam dan Baduy Luar. Kelompom Baduy Dalam biasanya disebut masyarakat “kajeroan/tangtu”, atau masyarakat “girang” (hulu) adalah kelompok masyarakat yang memang secara geografis menempati lokasi komunitas suku di kawasan hulu Ci Ujung. Sedangkan kelompok masyarakat Baduy Luar disebut masyarakat “penamping” atau masyarakat pendamping.
                                                                                                                               
                                                                  

Ø Baduy Dalam
·        Kaum Pria
Berpakaian serba putih, mulai dari ikat kepala,baju,hingga kainbagian bawah berfungsi sebagai celana, hingga batas lutut baik baju maupun kain bagian bawah tidak di jahit. Rambut kepala pada umumnya tidak di potong/ di pankas, karena mereka menggunakan ikat kepala sebagai identitas jenis kelamin laki-laki. Selslu membawa golok pinggang yang berfungsi sebagai pengaman diri disamping untuk keperluan lading. Mereka dilarang untuk meroko, tetapi perkembangan kekinian banyak dikalangan anggota komunitas yang melanggar ketentuan ini utamanya bagi mereka yang sering berpergian ke luar daerah Baduy Dalam. Masyarakat suku Baduy selalu membawa tas asli Suku Baduy yaitu “koja”, biasanya berisi makanan seperti nasi tiwul, air, dan barang-barang lainnya. Hal ini dilakukan jika mereka pergi keladang atau berpegian ke tempat lain yang aga jauh dari lokasi.
                                                                       








·        Kaum Wanita
Berpakaian serba hitam, tertutup mulai dari batas dada hingga mata kaki, tanpa jahitan, bahan pakian menggunakan tenun asli Suku Badu Dalam. Dengan rambut umumya panjang, berkulit putih kekuning-kuningan, bersih dan sungkan menemui tamu/pengunjung yang datang.


 Ø Baduy Luar 
·        Kaum Pria
Berpakaina hitam atau biru, berikat kepala biru bercorak batik khas baduy, namun dalam perkembangan kekinian banyak dari anggota komunitas Baduy Luar (kaum pria) yang telah berpakaian sama dengan masyarakat lain pada umumnya dan tidak lagi berikat kepala. Bahkan hampir seluruh kaum pria tersebut telah memotong/memangkas rambut kepalanya hingga rapih, ada yang menggunakan jam tangan, merokok,menggunakan alas kaki dan memperkenankan diri menggunakan angkutan umum (ojek,mobil ataupun kereta api) bila bepergian. Melakukan usaha dagang, walaupun dalam sekala kecil secara subsistensi sebagai tambahan pendapatan keluarga, bahkan ada di antara mereka secara rutin mengirim barang-barang hasil kerajinan untuk dijual ke kota-kota.









·        Kaum Wanita
berpakian hitam-hitam, dijahit menutupi bagian atas dada hingga lutut, tetapi banyak di antara mereka yang berpakaian sama dengan masyarakat lain pada umumnya. Para ibu umumnya telah ber KB (keluarga Berencana) dengan peminatan alat kontrasepsi pil dan system kalender. Relative ramah dan dan tidak sungkan untuk menemui tamu/pengunjung yng datang.






Ø Baduy Dangka
Baduy dangka yang tinggal menetap dikalangan masyarkat bukan Baduy di Luar wilayah baduy telah beradaptasi dan berinteraksi secara baik dan telah berbaur dengan sistem kehidupan masyarakat dimana mereka tinggal. Namun dalam hal keyakinan dan upacara-upacara adat kesukuan, mereka tetap berporos pada ketentuan-ketentuan adat yang telah di gariskan oleh pimpinan adat Suku Baduy Dalam.

                                                                              

Data demografi orang Baduy pertama kali tercatat pada tahun 1888, berjumlah 291 orang yang menempati sepuluh buah kampung. Demografi masyarakat Baduy, sampai dengan perhitungan terakhir tahun 2006 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1 : Demografi Masyarakat Baduy

No
Tahun
Jumlah
1
1888
291 jiwa
2
1889
1.407 jiwa
3
1908
1.547 jiwa
4
1928
1.521 jiwa
5
1966
3.935 jiwa
6
1969
4.063 jiwa
7
1980
4.057 jiwa
8
1983
4.574 jiwa
9
1984
4.587 jiwa
10
1986
4.850 jiwa
11
1994
6.483 jiwa
12
2000
7.317 jiwa
13
2006
9.741 jiwa
(Sumber: Garna, 1993; Permana, 2005; Sapin, 2006)

Tahun 2006, populasi penduduk umumnya di dominasi oleh penduduk Baduy Luar yang mencapai 8.688 jiwa. Penduduk Baduy Dalam yang berdiam di tiga kampung keramat berjumlah 1.053 jiwa, terdiri atas 388 jiwa warga Cikeusik, 507 jiwa warga Cibeo, dan 158 jiwa warga Cikartawana. Populasi penduduk Baduy Dalam hanya 10,8 % dari keseluruhan penduduk Baduy yang mendiami 56 kampung di Desa Kanekes.


1 Response
  1. Unknown Says:

    Informasinya sangat bagus.. terima kasih sudah berbagi..
    Sukses selalu