a. Sejarah Suku Karo
Dalam
buku Adat Karo, Darwan Prints menjelaskan sejarah etnis Karo dengan membaginya
dalam 3 zaman yaitu Pra sejarah, zaman Hindu-Budha dan kerajaan Haru. Namun
kelompok hanya akan memaparkan jaman Pra sejarah dan Hindu Budha, karena untuk
keberadaan kerajaan Haru masih menjadi diskusi kapankah kerajaan ini muncul.
Etnis
Karo merupakan percampuran dari ras Proto Melayu dengan ras Negroid (negrito).
Percampuran ini disebut umang. Hal ini terungkap dalam legenda Raja Aji Nembah
yang menikah dengan putri umang. Umang tinggal dalam gua dan sampai sekarang
masih dapat dilihat bekas-bekas kehidupan umang di beberapa tempat. Pada abad 1
Masehi terjadi migrasi orang India Selatan yang beragama Hindu ke
Indonesia termasuk ke Sumatera. Mereka memperkenalkan aksara Sansekerta dan Pallawa dan agama Hindu. Pengaruh mereka masih tampak dalam kepercayaan Karo. Beberapa diantaranya adalah Perwujudan Tuhan dalam tiga bentuk. Pada abad ke 5 M terjadi pula gelombang migrasi india yang memperkenalkan agama Budha dan tulisan Nagari. TL. Sinar menyatakan bahwa Tulisan Nagari akan menjadi cikal aksara Batak, Melayu, dan Jawa kuno .
Indonesia termasuk ke Sumatera. Mereka memperkenalkan aksara Sansekerta dan Pallawa dan agama Hindu. Pengaruh mereka masih tampak dalam kepercayaan Karo. Beberapa diantaranya adalah Perwujudan Tuhan dalam tiga bentuk. Pada abad ke 5 M terjadi pula gelombang migrasi india yang memperkenalkan agama Budha dan tulisan Nagari. TL. Sinar menyatakan bahwa Tulisan Nagari akan menjadi cikal aksara Batak, Melayu, dan Jawa kuno .
Pada
mulanya Kerajaan Haru-Karo (Kerajaan Aru) mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahui secara pasti kapan
berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra, dalam bukunya "Karo dari Zaman
ke Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama "Pa
Lagan".
Melihat dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo.
Kerajaan
Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan
Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan Haru pada
masa keemasannya, pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai
Siak di Riau.
Pada zaman penjajahan
Belanda
Tanah
karo, banyak diantaranya mengelompokkan diri menjadi satu desa yang di pimpin
secara bersama-sama oleh penghulu dari setiap kesain. Kekuasaan Belanda
memasuki Tanah Karo dari pesisir timur dan memasuki Tapanuli (daerah Batak dan
Mandailing) dari barat.
Kekuasaan
Belanda datang di tanah karo secara mendadak pada tahun 1904. Situasi yang
berkaitan dengan peta kekuasaan saat itu memaksa Belanda untuk mengakui dua
atau lebih kepemimpinan bersama di sistem baru ini pada tahun-tahun pertama.
Dengan mendukung tokoh usia yang paling panjang maka pada tahun 1930 Belanda
berhasil mendirikan dinasti pemerintahan yang terdiri dari sibayak dan raja
urug yang berkuasa seolah-olah berdasarkan garis keturunan dari raja
sebelumnya. Kenyataannya jika seseorang melihat sibayak dan raja urug di sambut
setiap kesain, orang akan melihatnya hanya sebelah mata karena betapa tipisnya
kewibawaannya dan sebelumnya orang malah menganggap remeh sibayak dan raja urug
itu. Bangsawan-bangsawa mendapat kekeasaan bukan dari rakyat melainkan dari pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Mereka duduk di pengadilan tertinggi.
Meskipun
demikian, Belanda tidak mengalihkan control atas tanah di kesain kepada
aristrokrasi baru ini. Fakta ini, bersama dengan kebencian orang-orang karo
terhadap perkebunan tembakau asing yang timbul karena mendengar cerita
pengalaman saudara-saudara sesukunya di dusun, menjamin tidak akan ada tanah yang
dialihgunakan kepada perkebunan asing di Tanah Karo. Pada tahun 1930 ada
pejabat-pejabat yang mendukung perlawanan Karo terhadap perkebunan-perkebunan
dan dengan begitu keadaan mereka jauh lebih baik dari pada sebelumnya.
Meskipun
hanya sedikit perlawanan bersenjata di Tanah Karo sesudah tahun 1904 dan
pembukaan sekolah-sekolah pemerintah oleh Belanda pada tahun 1920, tidak begitu
di tolak oleh masyarakat Karo. Rasa curiga orang-orang Karo terhadap Belanda
masih tetap kuat. Baru setelah Indonesia merdeka orang Karo meletakkan
pendidikan dalam agendanya untuk mencapai modernisasi. Dalam pergolakan tahun
1940 orang Karo muncul sebagai pendukung revolusi melawan Belanda.
Terdapat
suku Karo di Aceh Besar yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di
Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang
Abad", (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah
keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari Batak mana
penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya
"Tarich Atjeh dan Nusantara" (1961) mengatakan bahwa di lembah Aceh
Besar disamping terdapat kerajaan Islam terdapat pula kerajaan Karo. Selanjunya
disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari ke-20 mukim bercampur
dengan suku Karo. Brahma
Putra,
dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir
suku Karo di Aceh Besar adalah Manang
Ginting Suka.
Kelompok
karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau
Kaum Tiga Ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara
suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang
tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat
ratus orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat
didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan
kaum Hindu disebut kaum empat ratus.
Dikemudian
hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku
Hindu
dan mereka disebut sebagai kaum Ja Sandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imeum
Peuet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum
Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.