Sistem Religi Masyarakat
Agama pelbegu
disebut juga agama panema. Panema artinya adalah pertama. Agama pertama yang
msuk ke Indonesia adalah agama Hindu, maka agama Hindu inilah universal yang
dang dating ke wilayah nusantara termasuk wilayah suku Karo. Inti dari ajaran
ini adalah selain percaya akan adanya Yang Maha Satu (Yang Maha Esa), sebagai
pencipta langit dan bumi beserta semua isinya, juga masih percaya ada kekuatan
lain yang membantu mereka selama mereka hidup di dunia ini. Dalam kehidupan
sehari-hari, mereka menekankan pemujaan kepada kekuatan yang dianggap langsung
dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Mereka selain ingin hidup aman, aman dan
tentram di dunia, juga ingin tentram dan damai di akhirat.
Menurut
catatan data pada tahun 1983 bahwa prosentasepemeluk agama di kabupaten Karo adalah sebagai berikut :
KristenProtestan 46,31 %, Katolik 12,95 %, Islam 19,03 %, Hindu Budha danlainnya 21,70 %.
Pada abad 19 agama islam masuk
daerah penyebaranya meliputibatak selatan .
Agama kristen masuk sekitar tahun 1863 danpenyebaranya meliputi batak
utara.
Masyarakat Karo dahulu percaya bahwa
segala sesuatu yang ada didunia ini, baik
yang dapat dilihat maupun yang tak dapat dilihat adalah merupakan ciptaan Dibata. Menurut Henry Guntur Tarigan, orang Karo membedakan antara Dibata si
idah ( Tuhan yang dilihat) dan Dibata si la idah ( Tuhan yang tidak dilihat ) .
Dibata si idah dimaksud menunjuk pada kalimbubu. Sedikit penjelasan bahwa di
dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo terdapat daliken sitelu/rakut sitelu.
Ketiga unsur yang terdapat adalah kalimbubu ( pemberi dara) Anak beru ( pihak
penerima dara) dan senina (saudara ) Kalimbubu adalah golongan yang terhormat,
golongan yang disegani. Orang yang menghormati kalimbubunya akan memperoleh
banyak rejeki oleh karena itu kalimbubu disebut juga dibata di idah. Dibata si
la idah biasa disebut dengan Dibata kaci-kaci (Dibata yang berjenis perempuan)
Dibata kaci-kaci ini mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu: dunia atas,
tengah, dan bawah. Setiap wilayah kekuasaan ini diperintah oleh seorang Dibata
sebagai wakil dari Dibata Kaci-kaci. Ketiga Dibata itu merupakan satu kesatuan
yang disebut Dibata Si Telu ( Tuhan yang tiga). Berdasarkan tempatnya
memerintah, orang Karo percaya kepada :
1. Dibata Datas, Dibata Datas disebut juga Guru Batara, yang memiliki kekuasaan
dunia atas (angkasa).
2. Dibata Tengah, Dibata Tengah disebut juga Tuhan Padukah ni Aji, Dibata inilah
yang menguasai dan memerintah di bagian dunia kita ini.
3. Dibata Teruh Dibata Teruh juga disebut Tuhan Banua Koling. Dibata inilah yang
memerintah di bumi bagian bawah bumi.
Selain itu, ada dua unsur kekuatan yang diyakini yaitu sinar mataniari (sinar
matahari) dan si Beru Dayang. Sinar Mataniari inilah yang memberi penerangan.
Tempatnya ada di matahari terbit dan matahari terbenam. Dia mengikuti perjalanan
matahari dan menjadi penghubung antara ketiga Dibata. Siberu dayang adalah
seorang perempuan yang bertempat tinggal dibulan. Si beru dayang sering
kelihatan pada pelangi. Ia bertugas membuat dunia tengah tetap kuat dan tidak
diterbangkan angin topan.
Manusia
Manusia dalam kepercayaan masyarakat Karo terdiri dari :
1. Tendi (jiwa)
2. Begu (Roh orang yang sudah meninggal, Hantu)
3. Tubuh
Ketika seseorang meninggal maka tendi akan hilang dan tubuhnya akan hancur namun
begu tetap ada. Tendi dengan aku seseorang merupakan kesatuan yang utuh. Ketika
tendi berpisah dari aku maka seseorang akan sakit. Pengobatan dilakukan dengan
mengadakan pemanggilan tendi. Jika tendi tidak kembali maka yang terjadi adalah
kematian.
Terkait dengan Dibata, Bagi mereka Dibata adalah tendi (jiwa) yang dapat hadir
di mana saja, kekuasaannya meliputi segalanya dan dianggap sebagai sumber
segalanya. Hal ini sesuai dengan keyakinan orang-orang Karo yang sangat dekat
dengan suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap tendi, yaitu suatu
kehidupan jiwa yang keberadaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib. Orang
Karo meyakini bahwa alam semesta diisi oleh sekumpulan tendi. Setiap titik dalam
"kosmos" mengandung tendi. Kesatuan dari keseluruhan tendi yang mencakup
segalanya ini disebut Dibata, sebagai kesatuan totalitas dari "kosmos" (alam
semesta). Setiap manusia dianggap sebagai "mikro-kosmos" (semesta kecil) yang
merupakan kesatuan bersama dari kula (tubuh), tendi (jiwa), pusuh peraten
(perasaan), kesah (nafas), dan ukur (pikiran). Setiap bagian berhubungan satu
sama lain. Kesatuan ini disebut sebagai `keseimbangan dalam manusia'. Hubungan
yang kacau atau tidak beres antara satu sama lain dapat menyebabkan berbagai
bentuk kerugian seperti sakit, malapetaka, dan akhirnya kematian
Daya pikiran manusia dianggap bertanggung jawab ke luar guna menjaga
keseimbangan dalam dengan keseimbangan luar sebagai suatu "makro-kosmos"
(semesta besar) yang meliputi dunia gaib, kesatuan sosial dan lingkungan alam
sekitar. Tercapainya suatu "keseimbangan dalam" akan memperlihatkan berbagai
keadaan menyenangkan, seperti; malem (sejuk/tenang), ukur malem (pikiran
tenang), malem ate (hati sejuk/tenang), malem pusuh (perasaan sejuk/tenang).
Oleh karena itu kata malem digunakan juga sebagai arti sehat atau kesembuhan
dalam bahasa Karo.
Kesejukan badan dan pikiran merupakan dasar dari keadaan sehat, yaitu keadaan
sejuk dan seimbang antara "makro-kosmos". Prinsip ini pula yang menyebabkan
mengapa seorang guru melakukan beberapa upacara ritual dengan tujuan untuk
mendapatkan keadaan yang serba malem (sejuk/tenang). Menurut para guru,
terganggunya hubungan-hubungan dalam "mikro-kosmos" seseorang berarti adanya
keadaan tidak seimbang dalam tubuhnya, yaitu ketidakseimbangan antara tubuh,
jiwa, perasaan, nafas dan pikiran.
Dengan menggunakan air jeruk purut pada upacara berlangir (erpangir), seorang
guru akan menyiramkannya ke kepala pasiennya. Air jeruk purut diyakini
menimbulkan rasa sejuk. Sementara itu kepala si pasien dipilih dengan
pertimbangan bahwa kepala adalah tempat dari pikiran dan sebagai pusat dan
pimpinan dari "mikro-kosmos" (semesta kecil) tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam diri guru terdapat suatu pandangan bahwa keseimbangan dalam "mikro-kosmos"
(semesta kecil/tubuh manusia itu sendiri) tidak akan sempurna tanpa tercapainya
suatu keseimbangan "kosmos" (alam semesta secara luas). Oleh karena itu, seorang
guru dalam beberapa ritusnya yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan pada
diri manusia akan menggunakan air jeruk yang malem. Air jeruk dianggap sebagai
lambang dari alam semesta yang mewakili `keseimbangan luar'akan dimasukkan ke
dalam diri manusia yang mewakili `"keseimbangan dalam" itu sendiri. Tindakan ini
diyakini akan menyempurnakan keseimbangan dalam diri seseorang.
Tendi atau Roh halus
Seperti yang telah disebutkan bahwa masyarakat Karo memandang dunia tidak hanya
ditempati manusia namun juga ada tendi dan begu yang merupakan roh yang tak
terbatas tempat dan waktu. Hal ini tampak pada sebutan ijah dan ijenda. Sebutan
i jah dan i jenda tidak berarti adanya suatu wujud pasti tertentu sebagai alam
gaib. Kata tersebut di atas hanya untuk membedakan alam gaib dengan alam biasa.
Alam gaib sendiri berada bersama-sama di sekitar manusia. Semua tempat sekitar
manusia adalah juga alam gaib, namun alam gaib tersebut digambarkan sebagai
suatu alam yang tidak terlihat dan tanpa wujud, karena itulah disebut dengan i
jah (di sana), manusia tidak tahu pasti tempat dan wujudnya. Menurut seorang
guru Pa Jawi (bukan nama sebenarnya), mengatakan bahwa:
"I bas inganta enda pe melala kel orang-orang alus si la teridah bagi
kalak si la dua lapis perngenin matana, bage pe keramat seh kel
lalana, tiap-tiap kerangen lit sada keramatna, tiap keramat enda la
ia engganggui jelma, adina keramat ia singarak-ngarak, tapi adina
orang alus, e banci ia erbahan penakit, bage pe celaka man kita."
("Dalam tempat tinggal kita ini pun banyak sekali orang halus yang
tidak terlihat oleh mereka yang tidak dua lapis matanya, demikian
juga dengan keramat, sangat banyak juga, di setiap hutan ada satu
keramat penungggu, tapi mahluk halus jenis keramat ini tidak
menganggu sifatnya, tidak mau menganggu manusia, dia menolong
manusia, tapi jika orang-orang halus bisa saja membuat penyakit
bagi manusia dan mencelakakan kita.")
Sehubungan dengan itu, dikatakan juga bahwa arwah orang yang telah meninggal
mempunyai kehidupan yang berbanding terbalik dengan kehidupan manusia. Arwah itu
tinggal di taneh kesilahen dengan keadaan; berngi suarina, pagi berngina.
Artinya, malam bagi arwah adalah siang bagi kita manusia dan pagi bagi arwah
adalah malam bagi kita manusia. Itulah yang merupakan penyebab mengapa dikatakan
begu banyak berkeliaran di malam hari. Alam gaib dikatakan juga sebagai alam
jiwa. Keseluruhan alam gaib disebut pertendiin (kejiwaan). Hal ini berkaitan
dengan kepercayaan orang Karo yang sangat erat dengan tendi (jiwa). Oleh karena
itu hubungan manusia dengan alam gaib hanya dapat dilakukan melalui jiwa yang
dimiliki oleh manusia itu sendiri. Itulah sebabnya dalam melakukan hubungan
dengan orang-orang yang telah meninggal, seorang guru (guru si baso) menggunakan
tendinya dengan bantuan tendi-tendi lain yang disebut jenujung (junjungan).
Junjungan ini adalah sebagai kekuatan dari luar diri seorang guru yang dapat
membantunya sebagai roh gaib pelindung yang berasal dari "makro-kosmos".
Dalam mengadakan hubungan dengan roh-roh orang yang telah meninggal, seorang
guru dapat melakukannya dengan bantuan jenujung, khususnya mereka yang dijuluki
sebagai guru si baso melalui ritual perumah begu atau perumah tendi. Guru
mengatakan bahwa hubungan itu dapat dilakukan melalui perantaraan angin si
lumang-lumang (angin yang berhembus).
Dunia/kosmos terkait pandangan tentang alam
Sebelum dunia tercipta, ketiga anggota dibata si telu yaitu guru Batara, Tuan
padukah ni Aji beserta Tuhan Banua koling sudah ada. Demikian pula sinar
mataniari. Guru Batara dari dunia atas menurunkan saudaranya Banua koling
kedunia bawah untuk berkuasa disana. Tuhan paduka ni Aji diutus kedunia tengah
dan mengizinkannya untuk menciptakan dunia serta menguasainya. Sesampainya
didunia tengah, Ia menciptakan bumi, namun ketika Banua koling hendak melihat
kedunia atas pandangannya terhalang oleh bumi ciptaan Tuhan Padukah Ni Aji.
Segera ia menciptakan angin puting beliung untuk meniup dan merusaknya. Sinar
mataniari melihat kejengkelan Tuhan Banua Koling dan ketika ia melihat bumi
yang lembek itu seketika itu juga bumi mengembang. Terjadilah gunung-gunung,
bukit-bukit serta terjadilah pemisahan air dan daratan.
Bagaimana orang Karo memandang dunia tengah? Dunia tengah diyakini selain tempat
manusia hidup, juga merupakan tempat bagi roh-roh gaib atau mahluk-mahluk lain
yang hidup bebas tanpa terikat. Oleh karena itu diperlukan beberapa
aktivitas-aktivitas yang dapat menjaga keseimbangan alam. Aktivitas kegiatan
yang berhubungan dengan roh-roh gaib dan upacara ritual. Suatu peristiwa
penyembuhan, guna-guna dan ilmu gaib, merupakan sebagian aspek penting dalam
kepercayaan tradisional Karo yang pelaksanaanya terpusat pada guru. Suatu
peranan guru sebagai pelaksana utama mempunyai kaitan yang erat sekali dengan
konsepsi mereka tentang kosmos. Mengingat bahwa titik sentral dan tujuan utama
segala aktivitas peranan guru adalah untuk mencapai kembali "equilibrium" atau
keseimbangan. Baik itu keseimbangan dalam diri manusia sendiri dan
lingkungannya, maupun keseimbangan "makro-kosmos" dalam konteks yang lebih luas.
Guru dianggap memiliki banyak pengetahuan yang mendetail tentang berbagai hal
yang berhubungan dengan kehidupan dan kejadian- kejadian dalam hubungannya
dengan kehidupan
Alam semesta merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh, yang dapat dibagi secara
"vertikal" (tegak lurus) dan secara "horizontal" (mendatar). Secara vertikal,
alam dapat dibagi ke dalam tiga bagian yang disebut benua, yaitu : benua atas,
benua tengah dan benua teruh yang masing-masing dikuasai oleh Dibata datas,
Dibata tengah dan Dibata teruh yang merupakan suatu kesatuan yang disebut Dibata
si Telu ( Tuhan yang tiga) atau dianggap sebagai "tri tunggal"yang disebut juga
Dibata kaci-kaci ( Kaci-kaci artinya Tuhan Perempuan) sebagai penguasa tunggal.
Bagi satu masyarakat di Desa Kidupen, para guru menyebutnya juga dengan Dibata
si nurihi buk mecur atau Dibata si mada tenuang. Si nurihi buk mecur artinya
yang mampu menghitung rambut (manusia) yang sangat banyak. Sedangkan si mada
tenuang artinya yang menciptakan (tenuang berasal dari kata tuang = cipta, yang
biasa dipakai menyebutkan pencipta manusia selagi dalam rahim seorang Ibu).
Secara horizontal, alam semesta dibagi ke dalam delapan penjuru mata angin:
purba (timur), aguni (tenggara), daksina (selatan), nariti (barat daya), pustima
(barat), mangabia (barat laut), butara (utara), irisen (timur laut). Penjuru
mata angin ini disebut desa si waluh (delapan arah), berasal dari kata desa yang
berarti arah dan si waluh yang berarti delapan. Penjuru mata angin ini dapat
dibedakan atas dua sifat yang berbeda, yaitu desa ngeluh (arah hidup) dan desa
mate (arah mate). Desa-desa yang digolongkan sebagai arah hidup adalah; timur,
selatan, barat dan utara. Selain itu digolongkan sebagai arah mati. Penggolongan
kepada arah hidup dan arah mati didasarkan kepada pemikiran bahwa desa-desa
timur, selatan, barat dan utara dikuasai oleh roh penolong yang memberikan
kebahagiaan kepada manusia. Sebaliknya pada arah mati terdapat mahluk-mahluk
gaib yang jahat dan suka mencelakakan manusia. Sesuai dengan dengan pendapat dan
pemikiran ini, posisi arah rumah dan areal pemakaman penduduk suatu desa (Desa
Kidupen) mengikuti arah hidup. Posisi rumah pribadi mayoritas menghadap ke arah
utara dan selatan. Sedangkan posisi rumah-rumah adat mayoritas menghadap ke arah
timur dan barat. Sementara itu, areal persawahan dan perladangan mayoritas di
arah utara, selatan dan barat.
Orang Karo meyakini bahwa alam sekitar diri manusia sendiri dianggap sebagai
"makro-kosmos". Alam sekitar ini digolongkan ke dalam beberapa inti kehidupan
yang masing-masing dikuasai oleh nini beraspati (nini = nenek), yaitu;
1. beraspati taneh (inti kehidupan tanah)
2. beraspati rumah (inti kehidupan rumah)
3. beraspati kerangen (inti kehidupan hutan),
4. beraspati kabang (inti kehidupan udara).
Dalam ornamen Karo, nini beraspati ini dilambangkan dengan gambar cecak putih
(disebut perenget-renget) yang dianggap sebagai pelindung manusia. Beraspati,
oleh penganut pemena atau guru khususnya dibagi lagi ke dalam beberapa jenis
lingkungan alam atau tempat dan keadaan. Beraspati lau (inti kehidupan air)
misalnya, dibedakan lagi atas sampuren (air terjun), lau sirang (sungai yang
bercabang), tapin (tempat mandi di sungai) dan lain-lain. Beraspati rumah (inti
kehidupan rumah) dibagi lagi atas bubungen (bubungan), pintun (pintu), redan
(tangga), palas (palas), daliken (tungku dapur), para (tempat menyimpan
alat-alat masakdi atas tungku dapur) dan lain-lain. Beraspati taneh dibedakan
atas kerangan (hutan), deleng (gunung), uruk (bukit), kendit (tanah datar),
embang (jurang), lingling (tebing), mbal-mbal (padang rumput). Ini yang menjadi
dasar setiap guru di Karo akan selalu mengadakan persentabin (mohon ijin) kepada
nini beraspati sebelum melakukan upacara ritual, tergantung dalam konteks mana
upacara akan dilakukan, apakah kepada beraspati taneh, beraspati air, beraspati
kerangen atau beraspati kabang dan kadang-kadang para guru menggabungkan
beberapa beraspati yang dianggap penting dapat membantu kesuksesan suatu upacara
ritual yang mereka adakan dalam praktek hidup sehari-hari.
III. Praktik hidup sehari-hari
Upacara ritual dalam hidup masyarakat sehari-hari terlihat dalam upacara panen
padi. Para petani akan memberikan sesaji kepada Si Bru Dayang yang telah menjaga
tanaman-tanaman mereka, dan untuk kedepannya semoga Bru Dayang tetap berkenan
menjaga tanaman mereka agar hasil yang didapat nantinya lebih baik dari tahun
ini. Dalam upacara itu, Guru akan mendoakan sesaji yang diberi ditambah dengan
beberapa mantra (tabas). Adapun sesajinya berupa makanan khas Karo, rokok dari
daun nipah beserta tembakaunya, beberapa jenis bunga dan perlengkapan untuk
makan sirih (kampil). Contoh berikutnya adalah dalam upacara perumah begu
seorang guru si baso mengadakan persentabin kepada beraspati taneh dan beraspati
rumah agar meraka masing-masing sebagai inti kehidupan tersebut tidak mengganggu
atau menghambat jalannya upacara. Biasanya dilakukan dengan meletakkan sirih
yang disebut belo cawir (sirih, kapur, pinang dan gambir). Belo cawir ini
merupakan lambang diri manusia. Sirih dalam belo cawir sebagai lambang tubuh
manusia, kapur lambang dari darah putih sesuai dengan warnanya putih, pinang dan
gambir adalah lambang dari darah merah manusia karena perpaduan keduanya memberi
warna merah. Adanya kehidupan pada manusia disebabkan bekerjanya ketiga unsur
tersebut sebagai metabolisme tubuh manusia yang saling mengatur peredaran darah
dalam tubuh.
Disamping hal di atas, kosmologi Karo mempunyai perbedaan yang sifatnya umum
antara alam gaib dan alam biasa. Alam gaib ditunjukkan dengan pemakaian kata
ijah (di sana) dan alam manusia biasa dengan kata ijenda (di sini). Dalam
peristiwa pemanggilan roh-roh orang mati tersebut berasal/datang dari negeri
seberang, sedangkan alam biasa tempat kehidupan manusia disebut doni enda (dunia
ini). Ini menunjukkan bahwa alam gaib itu berbeda jauh dengan alam tempat
kehidupan manusia, tidak ada seorangpun yang tahu pasti dimana, hal ini terutama
menandakan bahwa roh-roh yang telah mati tidak sama dengan manusia yang hidup.
Ini dibuktikan dengan kata seberang yang dalam pengertian para guru dianggap
melewati suatu batas yang ditandai oleh lau (air), sehinga disebut negeri
seberang, harus menyeberangi sesuatu untuk sampai ke tempat tersebut yang
disebut sebagai i jah (di sana). Dalam hal ini diungkapkan bahwa lau (air)
merupakan penghubung antara manusia dan roh-roh yang telah mati. Hal ini pula
yang menyebabkan banyak guru memakai air yang ditempatkan dalam suatu mangkuk
putih, terutama jika guru merasa bahwa penyebab dari keadaan yang tidak seimbang
pada diri manusia tersebut disebabkan karena ada hubungannya dengan roh-roh
orang mati yang mengganggu.
yang dapat dilihat maupun yang tak dapat dilihat adalah merupakan ciptaan Dibata. Menurut Henry Guntur Tarigan, orang Karo membedakan antara Dibata si
idah ( Tuhan yang dilihat) dan Dibata si la idah ( Tuhan yang tidak dilihat ) .
Dibata si idah dimaksud menunjuk pada kalimbubu. Sedikit penjelasan bahwa di
dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo terdapat daliken sitelu/rakut sitelu.
Ketiga unsur yang terdapat adalah kalimbubu ( pemberi dara) Anak beru ( pihak
penerima dara) dan senina (saudara ) Kalimbubu adalah golongan yang terhormat,
golongan yang disegani. Orang yang menghormati kalimbubunya akan memperoleh
banyak rejeki oleh karena itu kalimbubu disebut juga dibata di idah. Dibata si
la idah biasa disebut dengan Dibata kaci-kaci (Dibata yang berjenis perempuan)
Dibata kaci-kaci ini mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu: dunia atas,
tengah, dan bawah. Setiap wilayah kekuasaan ini diperintah oleh seorang Dibata
sebagai wakil dari Dibata Kaci-kaci. Ketiga Dibata itu merupakan satu kesatuan
yang disebut Dibata Si Telu ( Tuhan yang tiga). Berdasarkan tempatnya
memerintah, orang Karo percaya kepada :
1. Dibata Datas, Dibata Datas disebut juga Guru Batara, yang memiliki kekuasaan
dunia atas (angkasa).
2. Dibata Tengah, Dibata Tengah disebut juga Tuhan Padukah ni Aji, Dibata inilah
yang menguasai dan memerintah di bagian dunia kita ini.
3. Dibata Teruh Dibata Teruh juga disebut Tuhan Banua Koling. Dibata inilah yang
memerintah di bumi bagian bawah bumi.
Selain itu, ada dua unsur kekuatan yang diyakini yaitu sinar mataniari (sinar
matahari) dan si Beru Dayang. Sinar Mataniari inilah yang memberi penerangan.
Tempatnya ada di matahari terbit dan matahari terbenam. Dia mengikuti perjalanan
matahari dan menjadi penghubung antara ketiga Dibata. Siberu dayang adalah
seorang perempuan yang bertempat tinggal dibulan. Si beru dayang sering
kelihatan pada pelangi. Ia bertugas membuat dunia tengah tetap kuat dan tidak
diterbangkan angin topan.
Manusia
Manusia dalam kepercayaan masyarakat Karo terdiri dari :
1. Tendi (jiwa)
2. Begu (Roh orang yang sudah meninggal, Hantu)
3. Tubuh
Ketika seseorang meninggal maka tendi akan hilang dan tubuhnya akan hancur namun
begu tetap ada. Tendi dengan aku seseorang merupakan kesatuan yang utuh. Ketika
tendi berpisah dari aku maka seseorang akan sakit. Pengobatan dilakukan dengan
mengadakan pemanggilan tendi. Jika tendi tidak kembali maka yang terjadi adalah
kematian.
Terkait dengan Dibata, Bagi mereka Dibata adalah tendi (jiwa) yang dapat hadir
di mana saja, kekuasaannya meliputi segalanya dan dianggap sebagai sumber
segalanya. Hal ini sesuai dengan keyakinan orang-orang Karo yang sangat dekat
dengan suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap tendi, yaitu suatu
kehidupan jiwa yang keberadaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib. Orang
Karo meyakini bahwa alam semesta diisi oleh sekumpulan tendi. Setiap titik dalam
"kosmos" mengandung tendi. Kesatuan dari keseluruhan tendi yang mencakup
segalanya ini disebut Dibata, sebagai kesatuan totalitas dari "kosmos" (alam
semesta). Setiap manusia dianggap sebagai "mikro-kosmos" (semesta kecil) yang
merupakan kesatuan bersama dari kula (tubuh), tendi (jiwa), pusuh peraten
(perasaan), kesah (nafas), dan ukur (pikiran). Setiap bagian berhubungan satu
sama lain. Kesatuan ini disebut sebagai `keseimbangan dalam manusia'. Hubungan
yang kacau atau tidak beres antara satu sama lain dapat menyebabkan berbagai
bentuk kerugian seperti sakit, malapetaka, dan akhirnya kematian
Daya pikiran manusia dianggap bertanggung jawab ke luar guna menjaga
keseimbangan dalam dengan keseimbangan luar sebagai suatu "makro-kosmos"
(semesta besar) yang meliputi dunia gaib, kesatuan sosial dan lingkungan alam
sekitar. Tercapainya suatu "keseimbangan dalam" akan memperlihatkan berbagai
keadaan menyenangkan, seperti; malem (sejuk/tenang), ukur malem (pikiran
tenang), malem ate (hati sejuk/tenang), malem pusuh (perasaan sejuk/tenang).
Oleh karena itu kata malem digunakan juga sebagai arti sehat atau kesembuhan
dalam bahasa Karo.
Kesejukan badan dan pikiran merupakan dasar dari keadaan sehat, yaitu keadaan
sejuk dan seimbang antara "makro-kosmos". Prinsip ini pula yang menyebabkan
mengapa seorang guru melakukan beberapa upacara ritual dengan tujuan untuk
mendapatkan keadaan yang serba malem (sejuk/tenang). Menurut para guru,
terganggunya hubungan-hubungan dalam "mikro-kosmos" seseorang berarti adanya
keadaan tidak seimbang dalam tubuhnya, yaitu ketidakseimbangan antara tubuh,
jiwa, perasaan, nafas dan pikiran.
Dengan menggunakan air jeruk purut pada upacara berlangir (erpangir), seorang
guru akan menyiramkannya ke kepala pasiennya. Air jeruk purut diyakini
menimbulkan rasa sejuk. Sementara itu kepala si pasien dipilih dengan
pertimbangan bahwa kepala adalah tempat dari pikiran dan sebagai pusat dan
pimpinan dari "mikro-kosmos" (semesta kecil) tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam diri guru terdapat suatu pandangan bahwa keseimbangan dalam "mikro-kosmos"
(semesta kecil/tubuh manusia itu sendiri) tidak akan sempurna tanpa tercapainya
suatu keseimbangan "kosmos" (alam semesta secara luas). Oleh karena itu, seorang
guru dalam beberapa ritusnya yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan pada
diri manusia akan menggunakan air jeruk yang malem. Air jeruk dianggap sebagai
lambang dari alam semesta yang mewakili `keseimbangan luar'akan dimasukkan ke
dalam diri manusia yang mewakili `"keseimbangan dalam" itu sendiri. Tindakan ini
diyakini akan menyempurnakan keseimbangan dalam diri seseorang.
Tendi atau Roh halus
Seperti yang telah disebutkan bahwa masyarakat Karo memandang dunia tidak hanya
ditempati manusia namun juga ada tendi dan begu yang merupakan roh yang tak
terbatas tempat dan waktu. Hal ini tampak pada sebutan ijah dan ijenda. Sebutan
i jah dan i jenda tidak berarti adanya suatu wujud pasti tertentu sebagai alam
gaib. Kata tersebut di atas hanya untuk membedakan alam gaib dengan alam biasa.
Alam gaib sendiri berada bersama-sama di sekitar manusia. Semua tempat sekitar
manusia adalah juga alam gaib, namun alam gaib tersebut digambarkan sebagai
suatu alam yang tidak terlihat dan tanpa wujud, karena itulah disebut dengan i
jah (di sana), manusia tidak tahu pasti tempat dan wujudnya. Menurut seorang
guru Pa Jawi (bukan nama sebenarnya), mengatakan bahwa:
"I bas inganta enda pe melala kel orang-orang alus si la teridah bagi
kalak si la dua lapis perngenin matana, bage pe keramat seh kel
lalana, tiap-tiap kerangen lit sada keramatna, tiap keramat enda la
ia engganggui jelma, adina keramat ia singarak-ngarak, tapi adina
orang alus, e banci ia erbahan penakit, bage pe celaka man kita."
("Dalam tempat tinggal kita ini pun banyak sekali orang halus yang
tidak terlihat oleh mereka yang tidak dua lapis matanya, demikian
juga dengan keramat, sangat banyak juga, di setiap hutan ada satu
keramat penungggu, tapi mahluk halus jenis keramat ini tidak
menganggu sifatnya, tidak mau menganggu manusia, dia menolong
manusia, tapi jika orang-orang halus bisa saja membuat penyakit
bagi manusia dan mencelakakan kita.")
Sehubungan dengan itu, dikatakan juga bahwa arwah orang yang telah meninggal
mempunyai kehidupan yang berbanding terbalik dengan kehidupan manusia. Arwah itu
tinggal di taneh kesilahen dengan keadaan; berngi suarina, pagi berngina.
Artinya, malam bagi arwah adalah siang bagi kita manusia dan pagi bagi arwah
adalah malam bagi kita manusia. Itulah yang merupakan penyebab mengapa dikatakan
begu banyak berkeliaran di malam hari. Alam gaib dikatakan juga sebagai alam
jiwa. Keseluruhan alam gaib disebut pertendiin (kejiwaan). Hal ini berkaitan
dengan kepercayaan orang Karo yang sangat erat dengan tendi (jiwa). Oleh karena
itu hubungan manusia dengan alam gaib hanya dapat dilakukan melalui jiwa yang
dimiliki oleh manusia itu sendiri. Itulah sebabnya dalam melakukan hubungan
dengan orang-orang yang telah meninggal, seorang guru (guru si baso) menggunakan
tendinya dengan bantuan tendi-tendi lain yang disebut jenujung (junjungan).
Junjungan ini adalah sebagai kekuatan dari luar diri seorang guru yang dapat
membantunya sebagai roh gaib pelindung yang berasal dari "makro-kosmos".
Dalam mengadakan hubungan dengan roh-roh orang yang telah meninggal, seorang
guru dapat melakukannya dengan bantuan jenujung, khususnya mereka yang dijuluki
sebagai guru si baso melalui ritual perumah begu atau perumah tendi. Guru
mengatakan bahwa hubungan itu dapat dilakukan melalui perantaraan angin si
lumang-lumang (angin yang berhembus).
Dunia/kosmos terkait pandangan tentang alam
Sebelum dunia tercipta, ketiga anggota dibata si telu yaitu guru Batara, Tuan
padukah ni Aji beserta Tuhan Banua koling sudah ada. Demikian pula sinar
mataniari. Guru Batara dari dunia atas menurunkan saudaranya Banua koling
kedunia bawah untuk berkuasa disana. Tuhan paduka ni Aji diutus kedunia tengah
dan mengizinkannya untuk menciptakan dunia serta menguasainya. Sesampainya
didunia tengah, Ia menciptakan bumi, namun ketika Banua koling hendak melihat
kedunia atas pandangannya terhalang oleh bumi ciptaan Tuhan Padukah Ni Aji.
Segera ia menciptakan angin puting beliung untuk meniup dan merusaknya. Sinar
mataniari melihat kejengkelan Tuhan Banua Koling dan ketika ia melihat bumi
yang lembek itu seketika itu juga bumi mengembang. Terjadilah gunung-gunung,
bukit-bukit serta terjadilah pemisahan air dan daratan.
Bagaimana orang Karo memandang dunia tengah? Dunia tengah diyakini selain tempat
manusia hidup, juga merupakan tempat bagi roh-roh gaib atau mahluk-mahluk lain
yang hidup bebas tanpa terikat. Oleh karena itu diperlukan beberapa
aktivitas-aktivitas yang dapat menjaga keseimbangan alam. Aktivitas kegiatan
yang berhubungan dengan roh-roh gaib dan upacara ritual. Suatu peristiwa
penyembuhan, guna-guna dan ilmu gaib, merupakan sebagian aspek penting dalam
kepercayaan tradisional Karo yang pelaksanaanya terpusat pada guru. Suatu
peranan guru sebagai pelaksana utama mempunyai kaitan yang erat sekali dengan
konsepsi mereka tentang kosmos. Mengingat bahwa titik sentral dan tujuan utama
segala aktivitas peranan guru adalah untuk mencapai kembali "equilibrium" atau
keseimbangan. Baik itu keseimbangan dalam diri manusia sendiri dan
lingkungannya, maupun keseimbangan "makro-kosmos" dalam konteks yang lebih luas.
Guru dianggap memiliki banyak pengetahuan yang mendetail tentang berbagai hal
yang berhubungan dengan kehidupan dan kejadian- kejadian dalam hubungannya
dengan kehidupan
Alam semesta merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh, yang dapat dibagi secara
"vertikal" (tegak lurus) dan secara "horizontal" (mendatar). Secara vertikal,
alam dapat dibagi ke dalam tiga bagian yang disebut benua, yaitu : benua atas,
benua tengah dan benua teruh yang masing-masing dikuasai oleh Dibata datas,
Dibata tengah dan Dibata teruh yang merupakan suatu kesatuan yang disebut Dibata
si Telu ( Tuhan yang tiga) atau dianggap sebagai "tri tunggal"yang disebut juga
Dibata kaci-kaci ( Kaci-kaci artinya Tuhan Perempuan) sebagai penguasa tunggal.
Bagi satu masyarakat di Desa Kidupen, para guru menyebutnya juga dengan Dibata
si nurihi buk mecur atau Dibata si mada tenuang. Si nurihi buk mecur artinya
yang mampu menghitung rambut (manusia) yang sangat banyak. Sedangkan si mada
tenuang artinya yang menciptakan (tenuang berasal dari kata tuang = cipta, yang
biasa dipakai menyebutkan pencipta manusia selagi dalam rahim seorang Ibu).
Secara horizontal, alam semesta dibagi ke dalam delapan penjuru mata angin:
purba (timur), aguni (tenggara), daksina (selatan), nariti (barat daya), pustima
(barat), mangabia (barat laut), butara (utara), irisen (timur laut). Penjuru
mata angin ini disebut desa si waluh (delapan arah), berasal dari kata desa yang
berarti arah dan si waluh yang berarti delapan. Penjuru mata angin ini dapat
dibedakan atas dua sifat yang berbeda, yaitu desa ngeluh (arah hidup) dan desa
mate (arah mate). Desa-desa yang digolongkan sebagai arah hidup adalah; timur,
selatan, barat dan utara. Selain itu digolongkan sebagai arah mati. Penggolongan
kepada arah hidup dan arah mati didasarkan kepada pemikiran bahwa desa-desa
timur, selatan, barat dan utara dikuasai oleh roh penolong yang memberikan
kebahagiaan kepada manusia. Sebaliknya pada arah mati terdapat mahluk-mahluk
gaib yang jahat dan suka mencelakakan manusia. Sesuai dengan dengan pendapat dan
pemikiran ini, posisi arah rumah dan areal pemakaman penduduk suatu desa (Desa
Kidupen) mengikuti arah hidup. Posisi rumah pribadi mayoritas menghadap ke arah
utara dan selatan. Sedangkan posisi rumah-rumah adat mayoritas menghadap ke arah
timur dan barat. Sementara itu, areal persawahan dan perladangan mayoritas di
arah utara, selatan dan barat.
Orang Karo meyakini bahwa alam sekitar diri manusia sendiri dianggap sebagai
"makro-kosmos". Alam sekitar ini digolongkan ke dalam beberapa inti kehidupan
yang masing-masing dikuasai oleh nini beraspati (nini = nenek), yaitu;
1. beraspati taneh (inti kehidupan tanah)
2. beraspati rumah (inti kehidupan rumah)
3. beraspati kerangen (inti kehidupan hutan),
4. beraspati kabang (inti kehidupan udara).
Dalam ornamen Karo, nini beraspati ini dilambangkan dengan gambar cecak putih
(disebut perenget-renget) yang dianggap sebagai pelindung manusia. Beraspati,
oleh penganut pemena atau guru khususnya dibagi lagi ke dalam beberapa jenis
lingkungan alam atau tempat dan keadaan. Beraspati lau (inti kehidupan air)
misalnya, dibedakan lagi atas sampuren (air terjun), lau sirang (sungai yang
bercabang), tapin (tempat mandi di sungai) dan lain-lain. Beraspati rumah (inti
kehidupan rumah) dibagi lagi atas bubungen (bubungan), pintun (pintu), redan
(tangga), palas (palas), daliken (tungku dapur), para (tempat menyimpan
alat-alat masakdi atas tungku dapur) dan lain-lain. Beraspati taneh dibedakan
atas kerangan (hutan), deleng (gunung), uruk (bukit), kendit (tanah datar),
embang (jurang), lingling (tebing), mbal-mbal (padang rumput). Ini yang menjadi
dasar setiap guru di Karo akan selalu mengadakan persentabin (mohon ijin) kepada
nini beraspati sebelum melakukan upacara ritual, tergantung dalam konteks mana
upacara akan dilakukan, apakah kepada beraspati taneh, beraspati air, beraspati
kerangen atau beraspati kabang dan kadang-kadang para guru menggabungkan
beberapa beraspati yang dianggap penting dapat membantu kesuksesan suatu upacara
ritual yang mereka adakan dalam praktek hidup sehari-hari.
III. Praktik hidup sehari-hari
Upacara ritual dalam hidup masyarakat sehari-hari terlihat dalam upacara panen
padi. Para petani akan memberikan sesaji kepada Si Bru Dayang yang telah menjaga
tanaman-tanaman mereka, dan untuk kedepannya semoga Bru Dayang tetap berkenan
menjaga tanaman mereka agar hasil yang didapat nantinya lebih baik dari tahun
ini. Dalam upacara itu, Guru akan mendoakan sesaji yang diberi ditambah dengan
beberapa mantra (tabas). Adapun sesajinya berupa makanan khas Karo, rokok dari
daun nipah beserta tembakaunya, beberapa jenis bunga dan perlengkapan untuk
makan sirih (kampil). Contoh berikutnya adalah dalam upacara perumah begu
seorang guru si baso mengadakan persentabin kepada beraspati taneh dan beraspati
rumah agar meraka masing-masing sebagai inti kehidupan tersebut tidak mengganggu
atau menghambat jalannya upacara. Biasanya dilakukan dengan meletakkan sirih
yang disebut belo cawir (sirih, kapur, pinang dan gambir). Belo cawir ini
merupakan lambang diri manusia. Sirih dalam belo cawir sebagai lambang tubuh
manusia, kapur lambang dari darah putih sesuai dengan warnanya putih, pinang dan
gambir adalah lambang dari darah merah manusia karena perpaduan keduanya memberi
warna merah. Adanya kehidupan pada manusia disebabkan bekerjanya ketiga unsur
tersebut sebagai metabolisme tubuh manusia yang saling mengatur peredaran darah
dalam tubuh.
Disamping hal di atas, kosmologi Karo mempunyai perbedaan yang sifatnya umum
antara alam gaib dan alam biasa. Alam gaib ditunjukkan dengan pemakaian kata
ijah (di sana) dan alam manusia biasa dengan kata ijenda (di sini). Dalam
peristiwa pemanggilan roh-roh orang mati tersebut berasal/datang dari negeri
seberang, sedangkan alam biasa tempat kehidupan manusia disebut doni enda (dunia
ini). Ini menunjukkan bahwa alam gaib itu berbeda jauh dengan alam tempat
kehidupan manusia, tidak ada seorangpun yang tahu pasti dimana, hal ini terutama
menandakan bahwa roh-roh yang telah mati tidak sama dengan manusia yang hidup.
Ini dibuktikan dengan kata seberang yang dalam pengertian para guru dianggap
melewati suatu batas yang ditandai oleh lau (air), sehinga disebut negeri
seberang, harus menyeberangi sesuatu untuk sampai ke tempat tersebut yang
disebut sebagai i jah (di sana). Dalam hal ini diungkapkan bahwa lau (air)
merupakan penghubung antara manusia dan roh-roh yang telah mati. Hal ini pula
yang menyebabkan banyak guru memakai air yang ditempatkan dalam suatu mangkuk
putih, terutama jika guru merasa bahwa penyebab dari keadaan yang tidak seimbang
pada diri manusia tersebut disebabkan karena ada hubungannya dengan roh-roh
orang mati yang mengganggu.