SISTEM SOSIAL
Di daerah Sulawesi Selatan sangat menonjol perasaan kekeluargaan. Hal ini mungkin didasarkan pada anggapan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan berasal dari satu rumpun. Raja-raja di Sulawesi Selatan telah saling terikat dalam perkawinan, sehingga ikatan hubungan kekeluargaan semakin erat. Menurut Sure’ Lagaligo (catatan surat Lagaligo dari Luwu) bahwa keturunan raja berasal dari Batara Guru yang kemudian beranak cucu. Keturunan Barata Guru kemudian tersebar ke daerah lain. Oleh karena itu perasaan kekeluargaan tumbuh dan mengakar di kalangan raja di Sulawesi Selatan.
Dalam masyarakat Sulawesi Selatan ditemukan sistem kekerabatan. Sistem kekrabatan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Keluarga inti atau keluarga batih. Keluarga ini merupakan yang terkecil. Dalam bahasa Bugis keluarga ini dikenal dengan istilah Sianang , di Mandar Saruang Moyang, di Makassar Sipa’anakang/sianakang, sedangkan orang Toraja menyebutnya Sangrurangan. Keluarga ini biasanya terdiri atas bapak, ibu, anak, saudara laki-laki bapak atau ibu yang belum kawin.
b. Sepupu. Kekerabatan ini terjadi karena hubungan darah. Hubungan darah tersebut dilihat dari keturunan pihak ibu dan pihak bapak. Bagi orang Bugis kekerabatan ini disebut dengan istilah Sompulolo, orang Makassar mengistilkannya dengan Sipamanakang. Mandar Sangandan Toraja menyebutkan Sirampaenna. Kekerabatan tersebut biasanya terdiri atas dua macam, yaitu sepupu dekat dan sepupu jauh. Yang tergolong sepupu dekat adalah sepupu satu kali sampai dengan sepupu tiga kali, sedangkan yang termasuk sepupu jauh adalah sepupu empat kali sampai lima kali.
c. Keturunan. Kekerabatan yang terjadi berdasarkan garis keturunan baik dari garis ayah maupun garis ibu. Mereka itu biasanya menempati satu kampung. Terkadang pula terdapat keluarga yang bertempat tinggal di daerah lain. Hal ini bisanya disebabkan oleh karena mereka telah menjalin hubungan ikatan perkawinan dengan seseorang yang bermukim di daerah tersebut. Bagi masyarakat Bugis, kekerabatan ini disebut dengan Siwija orang MandarSiwija, Makassar menyebutnya dengan istilah Sibali dan TorajaSangrara Buku.
d. Pertalian sepupu/persambungan keluarga. Kekerabatan ini muncul setelah adanya hubungan kawin antara rumpun keluarga yang satu dengan yang lain. Kedua rumpun keluarga tersebut biasanya tidak memiliki pertalian keluarga sebelumnya. Keluraga kedua pihak tersebut sudah saling menganggap keluarga sendiri. Orang-orang Bugis mengistilakan kekerabatan ini dengan Siteppang-teppang, MakassarSikalu-kaluki, Mandar Sisambung sangana dan Toraja Sirampe-rampeang.
e. Sikampung. Sistem kekerabatan yang terbangun karena bermukim dalam satu kampung, sekalipun dalam kelompok ini terdapat orang-orang yang sama sekali tidak ada hubungan darahnya/keluarga. Perasaan akrab dan saling menganggap saudara/ keluarga muncul karena mereka sama-sama bermukim dalam satu kampung. Biasanya jika mereka berada itu kebetulan berada di perantauan, mereka saling topang-menopang, bantu-membantu dalam segala hal karena mereka saling menganggap saudara senasib dan sepenaggungan. Orang Bugis menyebut jenis kekerabatan ini dengan Sikampong, MakassarSambori, suku Mandar mengistilakan Sikkampung dan Toraja menyebutkan Sangbanua.
Kesemua kekerabatan yang disebut di atas terjalin erat antar satu dengan yang lain. Mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Oleh karena jika seorang membutuhkan yang lain, bantuan dan harapannya akan terpenuhi, bahkan mereka bersedia untuk segalanya.
Demikian juga dalam budaya Bugis Makassar (juga Mandar, Toraja dan Luwu dan semua derivasi sub-kultur yang terdapat di dalamnya), kehormatan yang kemudian tertuang dalam system social bernama Siri na Pesse juga mengemuka sebagai dasar pijakan perihidup manusia Bugis Makassar. Kehormatan diri menjadi filosofi dasar bagaimana manusia Bugis Makassar menjalani hidupnya.
Tanpa kehormatan, tanpa siri na pesse ini, mereka menganggap tak layak hidup sebagai manusia. Hidup tanpa kehormatan bak hidup laiknya binatang, bahkan mereka berprinsip bahwa lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup dengan kehormatan tercabik-cabik. Siri’mi Narituo, narekko degage siri’na sirupaini olok-koloe (karena malu kita hidup, kalau tak ada malu maka tak ada beda dengan binatang).
Struktur Sosial Masyarakat Bugis
I. Kekerabatan berdasarkan Kelahiran
Kekerabatan yang terbentuk secara bilateral, dengan suatu sapaan yang sama antara ayah dan ibu. Tanah diwariskan secara merata. Rumah yang ditempati setelah pernikahan cenderung mengikuti pihak perempuan (uxorilocal) disebut tinggal dengan kerabat istri, pihak bungsu, atau anak perempuan. Sistem kekerabatan bilateral dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Bugis berkisar di keluarga ibu saja-unit rumah tangga.
II. Kekerabatan berdasarkan Pernikahan
Tradisi Bugis membolehkan perjodohan anak-anak antara usia tujuh tahun sampai empat belas tahun, agar orang mendapat pertalian besan yang saling menguntungkan satu sama lain. Ikatan perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Bugis. Keturunan bangsawan diturunkan dari leluhur penguasa yang misterius. Orang tua dengan derajat setara menurunkan derajat yang sama ke anak-anak mereka; dan putra dari seorang ayah bangsawan dari derajat tinggi dan seorang ibu kalangan biasa diberikan derajat/kedudukan lebih rendah dari ayahnya tetapi lebih tinggi dari derajat yang akan diberikan pada anak laki-laki yang bakal terlahir dari perkawinan putra yang bersangkutan dengan seorang istri dari orang kebanyakan. Perkawinan suku Bugis merupakan perkawinan dengan pendekatan hypergamous di mana terdapat semacam norma kesepakatan dengan pemberian sanksi atas pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang berstatus lebih rendah dan ketidakpatutan bagi perempuan yang menikah-ke-bawah. Laki-laki dianggap dan diharap bertindak lebih agresif dan akan berusaha keras memukau komunitas dengan kekuatan, kecerdasan, keberanian, dan prestasi-prestasi mereka.
III. Kekerabatan berdasarkan Persekutuan
Suku Bugis memiliki jaringan kekerabatan berdasarkan persekutuan dengan tau matoa yaitu semacam kelompok yang terbentuk suatu informasi. Berbagai macam kategori orang berstatus rendah yang tinggal di rumah tangga yang belum menikah, menetap di rumah itu meski sudah dewasa dan dengan status yang lebih rendah. Orang-orang kebanyakan mayoritas menjadi pengikut tau matoa umumnya bersikap pasif dalam hubungan mereka dengan pemimpin, hanya menerima arahan dari tau matoa. Keanggotaan dalam organisasi keagamaan Islam, seperti Muhammadiyah dan Aisiyah atau Ahlul Sunnah.
IV. Masa Lalu adalah Masa Kini
Orang-orang Bugis terlibat dalam kondisi persaingan, pembandingan, dan penentuan status, penilaian bijaksana tau matoa selalu menjadi hal utama. Pencapaian pribadi sangat bermakna bagi orang Bugis sebab pada akhirnya hal-hal ini akan menandakan status mereka. "harga diri" orang Bugis terdengar ketika mereka membahas perilaku mereka sendiri atau orang lain. Seseorang yang bersikap terlalu rendah hati atau terlampau angkuh menurut ukuran status sosialnya akan dianggap 'tidak mengetahui harga diri-nya' . Seseorang memperoleh harga dirinya sebagian besar bersumber dari penilaian orang lain terhadap perilaku atau watak yang ia miliki. "harga diri" dan status sosial terkait secara menyeluruh, seseorang yang tak mengetahui status sejati mereka "tidak tahu harga diri-nya". Namun, tau matoa mampu untuk mengubah pandangan tersebut.
Peradaban Awal
a. Budaya La Galigo
Kebudayaan ini digambarkan tentang pakaian tokoh-tokoh dalam La Galigo pada pengantin bangsawan tinggi masa kini, yang selalu berusaha meniru adat-kebiasaan masa lalu. La Galigo juga dapat dilihat dalam peperangan yang disulut oleh hal-hal kecil atau dendam pribadi.
b. Masyarakat La Galigo
Tergambarkan sangat hirarkis. Datu, sang penguasa, adalah orang paling terkemuka dalam kerajaan, yang menjaga keseimbangan lingkungan baik alam maupun sosial, dan merupakan pewaris turunan dewa di muka bumi. Datu dan seluruh bangsawan dalam tingkatan tertentu ikut memegang status keramat. Bissu dapat dikatakan memiliki posisi di luar sistem kemasyarakatan dengan berperan sebagai pendeta, dukun, serta ahli ritual trance.
c. Teologi dan Kosmologi
Sistem kepercayaan Bugis kuno, tidak ditemukan dalam suatu penjelasan sistematis, namun rekonstruksi bisa dilakukan melalui suatu analisis yang saksama terhadap teks-teks La Galigo dan beberapa teks zaman berikutnya. Di atas segala-segalanya terdapat suatu entitas spiritual abadi yang dinamakan Dewata Sisine Yang Mahaesa'. Dari entitas ini, setelah tujuh lapis Langi', Tana, dan tujuh lapis Peretiwi diciptakan, muncul sepasang dewa yang disamakan dengan matahari dan bulan yang masing-masing bernama La Tepu Langi' dan We Sengngeng Linge'.
d. Unsur Kepercayaan Kuno Orang Bugis
Dasar sistem religi Bugis pra-Islam sebenarnya bersifat pribumi, meski mungkin ditemukan adanya persamaan dengan konsep religi India, baik Hindu maupun Budha.
Yang Bertahan dan Yang Berubah
Potret masyarakat terbilang lentur dan mampu menjalani proses perubahan terus-menerus sesuai zaman. Banyak unsur luar yang telah diserap ke dalam hampir seluruh aspek kehidupan orang Bugis selama ini yang memperkaya hukum adat, tatanan sosial politik, adat-istiadat, ritual dan kepercayaan, tingkah laku, pekerjaan sehari-hari, teknologi, pengetahuan, cerita rakyat, hiburan, dan sastra. Akan tetapi, unsur-unsur serapan tersebut diolah dengan begitu apik, sehingga baik orang luar maupun orang Bugis sendiri menganggapnya sebagai suatu entitas budaya yang sudah menyatu, atau merupakan tradisi yang utuh dan padu. Sejak awal abad ke-19, dengan berkembangnya globalisasi di dunia barat yang sarat kapitalisme, begitu mengimbas orang Bugis khususnya struktur sosial. Ruang sosial menjadi semakin lapang dan wawasan mereka pun terbuka menghadapi cakrawala baru "globalisasi", sebagai pembeda antara sikap modern dan kolot. Berkembang pula bidang transportasi dan komunikasi, serta meningkatnya kemampuan baca tulis dan pendidikan, pada gilirannya mempengaruhi bidang keagamaan dan pengetahuan umum. Transisi masyaraka Bugis dari era tradisional ke modern sebenarnya melewati proses panjang dan kompleks. Banyak unsur kebudayaan warisan masa lalu yang masih tetap hidup. Ada pula yang menjelma menjadi sesuatu yang baru dan menjadi kebudayaan Bugis modern.
Budaya dan adat perkawinan Bugis Makassar adalah salah satu budaya pernikahan di Indonesia yang paling kompleks dan melibatkan banyak emosi. Bagaimana tidak mulai dari ritual lamaran hingga selesai resepsi pernikahan akan melibat kan seluruh keluarga yang berkaitan dengan kedua pasangan calon mempelai. Ditambah lagi dengan biaya mahar dan "doi' panaik" atau uang naik atau biaya akomodasi pernikahan yg selangit.
Sebenarnya dulu adat budaya pernikahan yang tergolong mewah ini hanya barlaku bagi keluarga kerajaan namun sekarang mengalami pergeseran dan mulai dipraktekan masyarakat umum suku bugis makassar.
Ritual
Lamaran (assuro/massuro)
Lamaran mungkin bisa dikatan umum dan dilakukan sebagaimana adat-adat yang ada di Indonesia, namun yang berbeda adalah acara lamaran yang memang diarahkan agar berlangsung alot dan beradu pantun istilahnya "maddongidongi/mammanu'manu'. Pihak calon laki-laki diharap mampu membalas dan menyeimbangi pantun pihak keluarga perempuan.
Dalam Lamaran dibicarakan tentang jumlah mahar, biaya pernikahan dan seserahan serta hari dan tanggal baik pernikahan.
biasanya perbincangan akan sangat alot dan sering menemui jalan buntu dan harus melakukan lamaran ulang.
Persiapan
Persiapan pernikahan biasanya akan lebih ribet dan memakan waktu, tenaga dan biaya yang begitu besar (diluar akomodasi undangan dan sebagainya). Sebab selain mengundang secara tertulis ternyata budaya "mappada" atau memanggil secara lisan adalah adat yang tidak bisa ditinggalkan, mengundang secara lisan biasanya dilakukan oleh Ibu calon mempelai bersama Bibi atau kerabat wanita. Ini akan banyak menguras tenaga dan waktu meskipun yang akan diundang secara lisan adalah keluarga dan kerabat dekat tapi jika kita berada dalam lingkungan keluarga besar yang berjauhan akan sangat menyita tenaga.
Mandi Uap (A'barumbung/Mappesau)
Mandi uap atau sauna adalah salah satu ritual yang dijalankan sebelum memasuki acara pacar (mappacci) mandi sauna dilakukan secara tradisional menggunakan perapian kayubakar dibalik tirai kain atau tirai bambu. Ritual ini dilakukan selama tiga hari.
acara makan semacam masakan beras ketan yang diolah secara tradisional, dilakukan 2 malam sebelum hari akad nikah.
Akkorontigi (Mappacci) atau malam pacar.
ritual dimana kerabat keluarga mempelai memberikan tanda pacar pada tangan mempelai, maksudnya agar niat mempelai dalam menjalani pernikahan bersih sebagai nama mappacci asal kata mapaccing atau bersih dan suci.
Assimorong atau akad nikah.
akad nikah dilakukan di lokasi mempelai wanita. Sangat jarang dalam budaya Islam bugis makassar melakukan akad nikah atau ijab qabul di Mesjid. Mempelai laki-laki akan mendatangi kediaman mempelai wanita bersama rombongan dengan membawa erang-erang yaitu seserahan yang kemas dengan bosara dan tandu yang terbuat dari bilah bambu.
seserahan yang di kemas dalam bosara biasanya kue-kue tradisional bugis dan alat keperluan sehari-hari seperti kosmetik dan sebagainya, sedangkan dalam tandu bilah bambu diisi dengan berbagai hasil bumi biasanya buah-buahan dan sepasang ekor ayam jantan dan betina.
Resepsi di Lokasi Mempelai Wanita.
Biasanya setelah resepsi mempelai pria tidak diperkenankan menginap di kediaman mempelai wanita, jika kediaman si pria jauh maka di sediakan tempat di rumah tetangga dalam hal ini juga mempelai pria tidak diperkenankan memakan sajian dari kediaman mempelai wanita.
Resepsi di kediaman pria (Allekka’ bunting (Marolla) atau mundu mantu)
seperti halnya sang pengantin pria pengantin wanita tidak diperkenankan memakan sajian dari kediaman pria namun tetap diinapkan dalam kediaman pria yang dalam ruangan dengan kawalan yang ketat bahkan isolasi.
Makkaddo Caddi
Sehari setelah resepsi dikediaman pria, biasanya dilakukan acara makan olahan beras ketan "kaddo caddi". Dan masih menerima kedatangan tamu.
Appa’bajikang bunting atau menyatukan kedua mempelai.
dalam ritual ini wanita dan pria disatukan dan lepas dari isolasi. Biasanya sebagai simbolisasi dengan acara suapan dan mencium kening.
berselang beberapa hari kemudian masih dilakukan acara syukuran dengan makan-makan lappa'-lappa'