SUKU TORAJA
Latar Belakang Kebudayaan
Suku Toraja adalah sebuah
suku pendatang yang menganggap bahwa mereka kelompok berasal dari khayangan
(nirwana) Suku Toraja turun ke pulau
Lebukan dan bersama-sama mereka datang
menuju Sulawesi tepatnya Sulawesi Selatan. Mayoritas agama di Suku Toraja yaitu
Hindu dengan menjalankan setiap tradisi-tradisi yang yang mereka percaya dari
para leluhur (nenek moyang) Secara
geografis mereka tinggal di pegunungan bagian utara tepatnya di Sulawesai
Selatan, Indonesia. Satu kelompok minoritas yang sudah berhasil mendapatkan perhatian nasional dan internasional adalah suku
Toraja di Sulawesi Selatan. Kelebihan
kelompok ini, yang mulai terlihat di tahun 80-an, disebabkan terutama dari
industri pawisata, dengan
memiliki daya tarik
indahnya alam pedesaan,
kehidupan yang penuh dengan kesederhanaan dan prosesi upacara kematian yang sangat spektakuler
yang membuat orang penuh
rasa penasaran ingin melihatnya serta melibatkan penyembelihan kerbau secara besar-besaran. Mereka lebih suka tinggal penghuni pegunungan terjal daerah pedalaman Sulawesi
yang lembab, suku Toraja menanam padi untuk sekedar hidup dan kopi untuk
mendapatkan penghasilan. Secara tradisional, mereka tinggal di desa di puncak
bukit yang dikelilingi benteng terdiri dari dua hingga empat puluh rumah indah
dengan atap yang luas dan besar, menyerupai tanduk kerbau. Sampai
di akhir tahun
80-an,
desa-desa ini secara politis dan ekonomis adalah desa swasembada yaitu mereka sudah mampu untuk
melakukannya semua aktifitas sendiri, sebagian karena adanya perlindungan terhadap
perdagangan budak dan sebagian akibat permusuhan antar kelompok yang disertai
dengan perburuan kepala manusia.
Toraja
mempunyai hubungan yang kuat secara emosional, ekonomi, dan politik antar
kelompok mereka yang berbeda-beda
yang membuat semakin menariknya Suku Torja ini. Pertalian yang paling dasar adalah
rarabuku, yang bisa diterjemahkan sebagai keluarga. Toraja memandang
kelompok ini sebagai hubungan darah dan tulang, yang dimaksud sebagai
hubungan di antara orang-tua dan anak atau keluarga inti. Ketika Toraja membentuk kekerabatan secara bilateral,
baik melalui ibu dan bapak, kemungkinan untuk melebarkan konsep rarabuku
semakin berkembang ke segala arah. Suatu kelompok lain yang penting dari sistem
kekerabatan Toraja dimana mereka berafiliasi adalah tongkongan (rumah
leluhur), yang berbeda dengan banua (rumah biasa). Tongkonan
adalah unit sosial terdiri atas sekelompok orang yang menganggap mereka berasal
dari satu keturunan nenek moyang asli. Struktur fisik tongkongan pada
waktu-waktu tertentu diperbarui dengan mengganti atapnya yang sudah berlangsung sejak zaman
nenek moyang. Ritual ini dihadiri oleh anggota kelompok sosial dan
diiringi oleh tarian yang menyerupai ratapan, di mana roh-roh diminta untuk
datang. Bentuk afiliasi penting yang ketiga disebut saroan, atau kerja
sama kelompok desa. Kelompok-kelompok ini diperkirakan berasal dari kelompok
para petani yang berasal dari dusun kecil. Berawal dari kerjasama dalam
pekerjaan dan perdagangan, kerjasama saroan berkembang ke dalam aktivitas
ritual juga. Pada saat ritual pengorbanan dan pemakaman terjadi,
kelompok-kelompok ini saling bertukar daging dan makanan lain.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis
Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini
dengan sebuatn To Riaja yang mengandung arti "Orang yang berdiam di negeri
atas atau pegunungan", sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang
artinya adalah "orang yang berdiam di sebelah barat". Ada juga versi
lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar),
artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi
Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja
dikenal kemudian dengan Tana Toraja. Konon manusia yang turun ke bumi, telah dibekali
dengan aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang
menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang
mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup
dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua. Cerita tentang perkembangan dan penyebaran Aluk
terjadi dalam lima tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa dao langi' yakni
permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme' di kapadanganna yakni Aluk
diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi' dirura.Kedua tahapan ini lebih
merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan budaya/aturan
hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo Cina pada sekitar 3000 tahun
sampai 500 tahun sebelum masehi. Ada juga sebelum kata Toraja dipergunakan sebagai sebutan untuk daerah yang sekarang dinamakan Kabupaten Tana Toraja, sebenarnya dahulu adalah suatu negeri yang berdiri sendiri dan dinamakan Tondk Lepongan Bulan Tana Matarik Allo (tondok=bentuk; allo=matahari) artinya : negeri yang bentuk pemerintahan dan kemasyrakatannya merupakan kesatuan yang bundar/bulat bagaikan bulan dan matahari.
Ritual Ma’nene adalah dimana menghormati sanak keluarga atau nenek moyang yang sudah lama meninggal dengan cara menggantikan baju para sanak keluarga ini salah satu cara menghormati. Dan menurut sebuah Kisah Ma`nene bermula dari seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek, ratusan tahun lampau. Ketika itu, dirinya berburu hingga masuk kawasan hutan pegunungan Balla. Di tengah perburuannya, Pong Rumasek menemukan jasad seseorang yang meninggal dunia, tergeletak di tengah jalan di dalam hutan lebat. Mayat itu, kondisinya mengenaskan. Tubuhnya tinggal tulang belulang hingga menggugah hati Pong Rumasek untuk merawatnya. Jasad itu pun dibungkus dengan baju yang dipakainya, sekaligus mencarikan tempat yang layak. Setelah dirasa aman, Pong Rumasek pun melanjutkan perburuannya.Sejak kejadian itu, setiap kali dirinya mengincar binatang buruan selalu dengan mudah mendapatkannya, termasuk buah-buahan di hutan. Kejadian aneh kembali terulang ketika Pong Rumasek pulang ke rumah. Tanaman pertanian yang ditinggalkannya, rupanya panen lebih cepat dari waktunya. Bahkan, hasilnya lebih melimpah. Kini, setiap kali dirinya berburu ke hutan, Pong Rumasek selalu bertemu dengan arwah orang mati yang pernah dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut ikut membantu menggiring binatang yang diburunya.
Ritual Ma’nene adalah dimana menghormati sanak keluarga atau nenek moyang yang sudah lama meninggal dengan cara menggantikan baju para sanak keluarga ini salah satu cara menghormati. Dan menurut sebuah Kisah Ma`nene bermula dari seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek, ratusan tahun lampau. Ketika itu, dirinya berburu hingga masuk kawasan hutan pegunungan Balla. Di tengah perburuannya, Pong Rumasek menemukan jasad seseorang yang meninggal dunia, tergeletak di tengah jalan di dalam hutan lebat. Mayat itu, kondisinya mengenaskan. Tubuhnya tinggal tulang belulang hingga menggugah hati Pong Rumasek untuk merawatnya. Jasad itu pun dibungkus dengan baju yang dipakainya, sekaligus mencarikan tempat yang layak. Setelah dirasa aman, Pong Rumasek pun melanjutkan perburuannya.Sejak kejadian itu, setiap kali dirinya mengincar binatang buruan selalu dengan mudah mendapatkannya, termasuk buah-buahan di hutan. Kejadian aneh kembali terulang ketika Pong Rumasek pulang ke rumah. Tanaman pertanian yang ditinggalkannya, rupanya panen lebih cepat dari waktunya. Bahkan, hasilnya lebih melimpah. Kini, setiap kali dirinya berburu ke hutan, Pong Rumasek selalu bertemu dengan arwah orang mati yang pernah dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut ikut membantu menggiring binatang yang diburunya.
Pong Rumasek pun berkesimpulan bahwa
jasad orang yang meninggal dunia harus tetap dimuliakan dan
diistimewakan, meski itu
hanya tinggal tulang belulangnya. Maksudnya walaupun mereka sudah kembali kepada sang
pencipta tetapi jasanya tidak akan pernah hilang di makan waktu. Oleh karena itu, setiap tahun sekali sehabis
panen besar di pada
bulan Agustus, penduduk Baruppu selalu mengadakan Ma`nene, seperti yang
diamanatkan leluhurnya supaya tetap dilestarikan oleh para generasi penerusnya, mendiang Pong Rumasek. Bagi masyarakat Baruppu, ritual
Ma`nene juga dimaknai sebagai perekat kekerabatan di antara mereka. Bahkan
Ma`nene menjadi aturan adat yang tak tertulis yang selalu dipatuhi setiap
warga. Ketika salah satu pasangan suami istri meninggal dunia, maka pasangan
yang ditinggal mati tak boleh kimpoi lagi sebelum mengadakan Ma`nene. Mereka
menganggap sebelum melaksanakan ritual Ma`nene status mereka masih dianggap
pasangan suami istri yang sah. Tapi, jika sudah melakukan Ma`nene, maka
pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujangan dan berhak untuk kimpoi (diruwat
agar mendapatkan jodoh)
lagi. Suku Toraja yang tinngal di
pegunungan terjal daerah pedalaman Sulawesi yang lembab, suku Toraja menanam
padi untuk sekedar hidup dan kopi untuk mendapatkan penghasilan. Kabupaten
Tana Toraja adalah kabupaten
di Provinsi
Sulawesi Selatan, dengan Ibukota
kabupaten
ini adalah Makale.
Sebelum pemekaran, kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.990 km² dan berpenduduk sebanyak 248.607 jiwa pada tahun 2007. Tetapi pada tahun 2010 bertambah sebanyak 2,27 juta jiwa dengan melihat agka ini pertambahan penduduk di Sulawesi Utara dengan sangat pesat sekali. Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma karena mereka masih percaya dengan para leluhur yang hidup dan mempercayai tradisi-tradisi nenek moyang. Seperti sudah mendarah daging yang sulit untuk dilepaskan atau dilupakan bagi masyarakat Suku Toraja dan bagi mereka tidak akan melupakan apa yang dilakukan nenek moyang. Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya yang tidak diperbolehkan untuk melakukan perkawinan tersebut. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga. Karena pada saat masa itu dianggap rakyat jelata yang todak sederajat sama dengan darah bangsawan yang dianggap masih keturunan darah biru dalam suku Toraja.
Sebelum pemekaran, kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.990 km² dan berpenduduk sebanyak 248.607 jiwa pada tahun 2007. Tetapi pada tahun 2010 bertambah sebanyak 2,27 juta jiwa dengan melihat agka ini pertambahan penduduk di Sulawesi Utara dengan sangat pesat sekali. Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma karena mereka masih percaya dengan para leluhur yang hidup dan mempercayai tradisi-tradisi nenek moyang. Seperti sudah mendarah daging yang sulit untuk dilepaskan atau dilupakan bagi masyarakat Suku Toraja dan bagi mereka tidak akan melupakan apa yang dilakukan nenek moyang. Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya yang tidak diperbolehkan untuk melakukan perkawinan tersebut. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga. Karena pada saat masa itu dianggap rakyat jelata yang todak sederajat sama dengan darah bangsawan yang dianggap masih keturunan darah biru dalam suku Toraja.
Karena
mayoritas penduduk suku Toraja masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya
(60 %) maka adat istiadat yang ada sejak dulu tetap dijalankan sekarang. Hal
ini terutama pada adat yang berpokok pangkal dari upacara adat Rambu Tuka’ dan
Rambu Solok. Dua pokok inilah yang merangkaikan upacara-upacara adat yang masih
dilakukan dan cukup terkenal. Seperti upacara adat
itu meliputi persiapan untuk penguburan
jenazah yang biasanya diikuti dengan adu ayam, adu kerbau, penyembelihan kerbau
dan penyembelihan babi dengan jumlah besar. Upacara ini termasuk dalam Rambu
Solok, dimana jenazah yang mau dikubur sudah di simpan lama dan nantinya akan
dikuburkan di gunung batu. Akan hal tempat kuburan ini, suku Toraja mempunyai tempat
yang khusus. Kebiasaan mengubur mayat di batu sampai kini tetap dilakukan
meskipun sudah banyak yang beragama Katholik, Kristen. Hanya yang sudah
beragama Islam mengubur mayatnya dalam tanah sebagaimana lazimnya. Seluruh
upacara dalam rangkaian penguburan mayat ini memerlukan biaya yang besar. Itu
ditanggung oleh yang bersangkutan disamping sumbangan-sumbangan. Besar kecilnya
upacara mencerminkan tingkat kekayaan suatu keluarga. Kriterianya diukur dari
jumlah babi dan kerbau yang dipotong disamping lamanya upacara. Untuk kaum
bangsawan upacara itu sampai sebulan dan hewan yang dipotong mencapai ratusan.
Belum lagi biaya (lainnya) yang banyak, sekalipun dirasakan berat tetapi lambat
laun dari masalah adat telah berubah menjadi masalah martabat.Pada masa
peride islam walaupun agama islam hanya minoritas tetapi mereka masih tetap
percaya untuk mempercayai agama islam akan tetapi mereka tetap percaya dengan tradisi-tradisi
yang dimiliki nenek moyang mereka.