Bab 2 Religi masyarakat
Agama
Masyarakat Minang saat ini
merupakan pemeluk agama Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari agama islam (murtad),
secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang,
dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang adat". Agama Islam
diperkirakan masuk melalui kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan dari
pesisir barat, terutama pada kawasan Pariaman, namun kawasan Arcat (Aru
dan Rokan) serta Inderagiri yang berada pada pesisir timur juga telah menjadi
kawasan pelabuhan Minangkabau, dan Sungai Kampar maupun Batang Kuantan berhulu
pada kawasan pedalaman Minangkabau. Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat,
Adat manurun, Syara' mandaki (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir,
sementara agama (Islam) datang dari pesisir ke pedalaman) serta hal ini juga
dikaitkan dengan penyebutan Orang Siak merujuk kepada orang-orang yang
ahli dan tekun dalam agama Islam, masih tetap digunakan di dataran tinggi
Minangkabau.Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat ini dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada masa-masa pemerintahan Adityawarman dan anaknya Ananggawarman. Kemudian perubahan struktur kerajaan dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam dalam sistem pemerintahannya, walau sampai abad ke-16, Suma Oriental masih menyebutkan dari 3 raja Minangkabau hanya satu yang telah memeluk Islam.
Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803 memainkan peranan penting dalam penegakan hokum Islam di pedalaman Minangkabau. Walau di saat bersamaan muncul tantangan dari masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam tradisi adat, dan puncak dari konflik ini muncul Perang Padri sebelum akhirnya muncul kesadaran bersama bahwa Adat berazaskan Al-Qur'an.
-
Factor
budaya
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini,
salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini,
penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria
dalam hal ini cukup kecil. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih
untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya
karena alasan ikut suami, tapi juga karena
ingin berdagang, meniti karier dan
melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau. Semangat untuk merubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Ka ratau madang dahulu, babuah babungo alun (lebih baik pergi merantau karena dikampung belum berguna)
mengakibatkan pemuda
Minang untuk pergi merantau sedari muda
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau. Semangat untuk merubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Ka ratau madang dahulu, babuah babungo alun (lebih baik pergi merantau karena dikampung belum berguna)